Jumat, 14 Januari 2011

ILMU PENGETAHUAN DAN PENELITIAN

Ilmu atau sains adalah pengetahuan tentang fakta-fakta, baik natura atau sosial, yang berlaku umum dan sistematis. Karena ilmu berlaku umum, maka darinya dapat disimpulkan pernyataan-pernyataan yang didasarkan pada beberapa kaidah umum pula.

1. Ilmu dan Proses Berpikir
Dua buah definisi dari ilmu adalah sebagai berikut.
“Ilmu adalah pengetahuan yang bersifat umum dan sistematis, pengetahuan dari mana dapat disimpulkn dalil-dalil tertentu menurut kaidah-kaidah yang umum.”
“Ilmu ialah pengetahuan yang sudah dicoba dan diatur menurut urutan dan arti serta menyeluruh dan sistematis.”
Ilmu lahir karena manusia diberkahi Tuhan suatu sifat ingin tahu. Keingintahuan seseorang terhadap permasalahan di sekelilingnya dapat menjurus kepada keingintahuan ilmiah. Misalnya, dari pertanyaan apakah bulan mengelilingi bumi, apakah matahari mengelilingi bumi, timbul keinginan untuk mengadakan pengamatan secara sistematis, yang akhirnya melahirkan kesimpulan bahwa bumi itu bulat, bahwa bulan mengelilingi matahari dan bumi juga mengelilingi
matahari. Menurut Maranon (1953), ilmu mencakup lapangan yang sangat luas, menjangkau semua aspek tentang progress manusia secara menyeluruh. Termasuk di dalamnya pengetahuan yang telah dirumuskan secara sistematis melalui pengamatan dan percobaan yang terus-menerus, yang telah menghasilkan penemuan kebenaran yang bersifat umum.

Konsep antara ilmu dan berpikir adalah sama. Dalam memecahkan masalah keduanya dimulai dari adanya rasa gengsi dan kebutuhan akan suatu hal yang bersifat umum. Kemudian timbul suatu pertanyaan yang khas, dan selanjutnya dipilih suatu pemecahan tentatif untuk penyelidikan.

Proses berpikir adalah suatu rafleksi yang teratur dan hati-hati. Menurut Kelly (1930), proses berpikir menuruti langkah-langkah berikut:
 Timbul rasa sulit
 Rasa sulit tersebut didefinisikan.
 Mencari suatu pemecahan sementara.
 Menambah keterangan terhadap pemecahan tadi yang menuju kepada kepercayaan bahwa pemecahan tersebut adalah benar.
 Melakukan pemecahan lebih lanjut dengan verifikasi eksperimental (percobaan).
 Mengadakan penilitan terhadap penemuan-penemuan eksperimental menuju pemecahan secara menatal untuk diterima atau ditolak sehingga kembali menimbulkan rasa sulit.
 Memberikan suatu pandangan ke depan atau gambaran mental tentang situasi yang akan datang untuk dapat menggunakan pemecahan tersebut secara tepat.

2. Definisi Penelitian
Whitney mengutip beberapa definisi tentang penelitian yang diturunkan di bawah ini.
Penelitian adalah pencarian atas sesuatu (inquiry) secara sistematis dengan penekanan bahwa pencarian ini dilakukan terhadap masalah-masalah yang dapat dipecahkan. (Parsons, 1946).
Penelitian adalah suatu pencarian fakta menurut metode objektif yang jelas untuk menemukan hubungan antar fakta dan menghasilkan dalil atau hukum. (John, 1949).
Penelitian adalah transformasi yang terkendalikan atau terarah dari situasi yang dikenal dalam kenyataan-kenyataan yang ada padanya dan hubungannya, seperti mengubah unsur dari situasi orisinal menjadi suatu keseluruhan yang bersatu padu (Dewey, 1936).

Dari definisi-definisi tentang penelitian, maka nyata bahwa penelitian adalah suatu penyelidikan yang terorganisasi. Penelitian juga dapat diartikan sebagai pencarian pengetahuan dan pemberi artian yang terus-menerus terhadap sesuatu.
Penelitian dengan menggunakan metode ilmiah (scientific method) disebut penelitian ilmiah. Dalam penelitian ilmiah ini, selalu ditemukan dua unsur penting, yaitu unsur observasi (pengamatan) dan unsur nalar (reasoning) (Ostle, 1975)

3. Ilmu, Penelitian, dan Kebenaran
Ilmu dan penelitian mempunyai hubungan yang sangat erat. Menurut Whitney (1960), ilmu dan pengetahuan adalah sama-sama proses, sehingga ilmu dan penlitian adalah proses yang sama. Hasil dari proses tersebut adalah kebenaran (truth).

Umumnya, suatu kebenaran ilmiah dapat diterima dikarenakan oleh tiga hal, yaitu:
1. adanya koheren;
2. adanya koresponden; dan
3. pragmatis.

Suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan tersebut koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Kebenaran matematika misalnya, didasarkan atas sifat koheren, karena dalil matematika disusun berdasarkan beberapa aksioma yang telah diketahui kebenarannya lebih dahulu.

Dasar lain untuk mempercayai kebenaran adalah koresponden yang diprakarsai oleh Bertrand Russel (1872 – 1970). Suatu pernyataan dianggap benar, jika materi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berhubungan atau mempunyai korespondensi dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan bahwa ibukota Propinsi Derah Istimewa Yogyakarta adalah
Yogyakarta adalah benar karena pernyataan tersebut mempunyai korespondensi dengan lokasi atau faktualitas bahwa Yogyakarta memang ibukota Propinsi DIY.

Sifat kebenaran yang diperoleh dalam proses berpikir secara ilmiah umumnya mempunyai sifat koheren dan sifat koresponden.berpikir secara deduktif adalah menggunakan sifat koheren dalam menentukan kebenaran, sedangkan berpikir secara induktif, peneliti menggunakan sifat koresponden dalam menentukan kebenaran.

Kebenaran lain dipercaya karena adanya sifat pragmatis. Dengan perkataan lain, pernyataan dipercayai benar karena pernyataan tersebut mempunyai sifat fungsional dalam kehidupan praktis. Suatu pernyataan atau suatu kesimpulan dianggap benar jika pernyataan tersebut mempunyai sifat pragmatis dalam kehidupan sehari-hari. Secara pragmatis orang percaya kepada agama, karena agama bersifat fungsional dalam memberikan pegangan dan aturan hidup pada manusia.

Tidak selamanya penemuan kebenaran diperoleh secara ilmiah. Kadangkala kebenaran dapat ditemukan melalui proses nonilmiah, seperti:
a. penemuan kebenaran secara kebetulan,
b. penemuan kebenaran secara common sense (akal sehat),
c. penemuan kebenaran melalui wahyu,
d. penemuan kebenaran secara intuitif,
e. penemuan kebenaran secara trial dan error,
f. penemuan kebenaran melalui spekulasi,
g. penemuan kebenaran karena kewibawaan.

4. Kegunaan dan Peranan Penelitian
Kegunaan penelitian adalah untuk menyelidiki keadaan dari, alasan untuk, dan konsekuensi terhadap suatu set keadaan khusus. Keadaan tersebut bisa saja dikontrol melalui percobaan (eksperimen) ataupun berdasarkan observasi tanpa kontrol. Penelitian memegang peranan yang amat penting dalam memberikan fondasi terhadap tindak serta keputusan dalam segala aspek pembangunan. Adalah sangat sulit, bahkan tidak mungkin sama sekali, untuk memperoleh data yang terpercaya yang dapat digunakan dalam perencanaan pembangunan, jika penelitian tidak pernah diadakan, serta kenyataan-kenyataan tidak pernah diuji lebih dahulu melalui penelitian. Tidak ada satu negara yang sudah maju dan berhasil dalam pembangunan, tanpa melibatkan banyak daya dan dana dalam bidang penelitian.

Di negara-negara yang telah berkembang, apresiasi terhadap karya penelitian sudah begitu melembaga dan penggunaan dana untuk keperluan penelitian tidak pernah dipertanyakan lagi manfaatnya. Pengeluaran negara untuk penelitian dapat mencapai 1-2 persen dari total pengeluaran negara. Di tahun 1953, Amerika Serikat misalnya telah menggunakan 3,5 billiun (miliar) dolar untuk penelitian. Kira-kira 60 persen dibiayai oleh pemerintah dan 35 persen oleh industri swasta, dan selebihnya oleh instansi dan lembaga lainnya. Dari keseluruhan pembiayaan tersebut, 94 persen digunakan untuk penelitian terapan (applied research) dan 6 persen untuk penelitian dasar (basic research).

Di negara-negara yang sedang berkembang, penelitian pertanian memegang peranan penting sekali, yaitu meliputi aspek-aspek pemasaran, penerapan teknologi, alat-alat pertania, pengangkutan serta perangsang industri.

Banyak studi menyimpulkan bahwa kontribusi dari penelitian mempunyai nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan tersebut. Ada dua cara untuk menilai keuntungan dari penelitian. Pertama, menggunakan teknik internal rate of return to investment dan
kedua dengan menghitung nilai marginal dari output per dolar modal yang ditanamkan dalam penelitian.

5. Jenis – Jenis Penelitian
Secara umum, penelitian dapat dibagi atas dua jenis, yaitu penelitian dasar (basic research ) dan penelitian terapan (applied research).
a. Penelitan Dasar (Basic Research)
Penelitian dasar atau penelitian murni adalah pencarian terhadap sesuatu karean ada perhatian dan keingintahuan terhadap hasil suatu aktivitas. Penelitian dasar dikerjakan tanpa memikirkan ujung praktis atau titik terapan. Hasil dari penelitian dasar adalah pengetahuan umum dan pengertian-pengertiantentang alam serta hukum-hukumnya. Pengetahuan umum ini merupakan alat untuk memecahkan masalah-masalah praktika, walaupun ia tidak memberikan jawaban yang menyeluruh untuk tiap masalah tersebut. Tugas penelitian terapanlah yang akan menjawab masalah-masalah praktis tersebut.

Penelitian murni tidak dibayang-bayangi oleh pertimbangan penggunaan dari penemuan
tersebut untuk masyarakat. Perhatian utama adalah kesinambungan dan integritas dari ilmu dan filosofi. Penelitian murni bisa diarahkan ke mana saja, tanpa memikirkan ada tidaknya hubungan dengan kejadian-kejadian yang diperlukan masyarakat. Contoh penelitian dasar misalnya
penelitian tentang gene, tentang nucleus, dan sebagainya.

b. Penelitian Terapan (Applied Research)
Penelitian terapan (applied research, practical research) adalah penyelidikan yang hati-
hati, sistematik dan terus menerus terhadap suatu masalah dengan tujuan untuk digunakan
dengan segera untuk keperluan tertentu. Hasil penelitian tidak perlu sebagai satu penemuan
baru, tetapi merupakan aplikasi baru dari penelitian yang telah ada. Peneliti yang mengerjakan
penelitian dasar atau murni tidak mengharapkan hasil penelitiannya digunakan secara praktika.
Peneliti-peneliti terapanlah yang akan memerinci penemuan penelitian dasar untuk keperluan
praktis dalam bidang-bidang tertentu. Tiap ilmuwan yang mengerjakan penelitian terapan
mempunyai keinginan agar dengan segera hasil penelitiannya dapat digunakan masyarakat, baik
untuk keperlua ekonomi, politik, maupun sosial.

Penelitian terapan memilih masalah yang ada hubungannya dengan keinginan masyarakat
serta untuk memperbaiki praktik-praktik yang ada. Penelitian terapan harus dengan segera
mengumumkan hasil penelitiannya dalam waktu yang tepat supaya penemuan tersebut tidak
menjadi kadaluwarsa.

Dalam melaksanakan penelitian terapan dapat dilakukan dalam lima langkah, sebagai berikut:
 Sesuatu yang sedang diperlukan, dipelajari, diukur, dan diperiksa kelemahannya.
 Satu dari kelemahan-kelemahan yang diperoleh, dipilih untuk penelitian.
 Biasanya dilakukan pemecahan dalam laboratorium.
 Kemudian dilakukan modifikasi sehingga penyelesaian dapat dilakuakn untuk diterapkan.
 Pemecahannya dipertahankan dan menempatkannya dalam suatu kesatuan sehingga ia menjadi bagian yang permanen dari satu sistem.
Contoh dari penelitian terapan, misalnya, penelitian tentang pengaruh traktorisasi
terhadap penyerapan tenaga kerja, pengaruh pemupukan daun terhadap tanaman jagung, dan sebagainya.

PERMINTAAN DAN PENAWARA

BAB I
PERMINTAAN DAN PENAWARAN

A. Pengertian, Hukum, Kurva dan Teori Permintaan
a. Permintaan (Demand)
Permintan adalah banyaknya jumlah barang yang diminta pada
suatu pasar tertentu dengan tingkat harga tertentu pada tingkat pendapatan
tertentu dan dalam periode tertentu.

Beberapa Penentuan Permintaan
Permintaan seseorang atau suatu masyarakat kepada suatu barang
ditentukan oleh faktor-faktor,diantaranya :
1. Harga barang itu sendiri (Px)
2. Harga barang lain ( Py)
3. Pendapatan konsumen (Inc)
4. Cita rasa (T)
5. Iklim (S)
6. Jumlah penduduk (Pop)
7. Ramalan masa yang akan datang (F)

Persamaan :



b. Hukum Permintaan (the low of demand)
Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis
yang menyatakan :
“Hubungan antara barang yang diminta dengan harga barang tersebut
dimana hubungan berbanding terbalik yaitu ketika harga meningkat atau
naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya
apabila harga turun jumlah barang meningkat.



(Qd = F.(Px, Py, Ine,T,S, Pop,F)

b. Hukum Permintaan (the low of demand)
Hukum permintaan pada hakikatnya merupakan suatu hipotesis
yang menyatakan :
“Hubungan antara barang yang diminta dengan harga barang tersebut
dimana hubungan berbanding terbalik yaitu ketika harga meningkat atau
naik maka jumlah barang yang diminta akan menurun dan sebaliknya
apabila harga turun jumlah barang meningkat.
c. Daftar Permintaan
Daftar permintaan ialah suatu tabel yang memberi gambaran dalam
angka-angka tentang hubungan antara harga dengan jumlah yang diminta
masyarakat. Ia menggambarkan besarnya permintaan yang ada pada
berbagai tingkat harga.
Contoh :
P (Harga) Q (Quantiti)
100 2000
200 1500
300 1000
400 500
500 0


Kurva Permintaan
Kurva Permintaan dapat didefinisikan sebagai :
“Suatu kurva yang menggambarkan sifat hubungan antara harga suatu
barang tertentu dengan jumlah barang tersebut yang diminta para
pembeli.”
Kurva permintaan berbagai jenis barang pada umumnya menurun
dari kiri ke kanan bawah. Kurva yang demikian disebabkan oleh sifat
hubungan antara harga dan jumlah yang diminta yang mempunyai sifat
hubungan terbalik.

Fungsi permintaan : Q = a - bp

Qdx = f (py)
x & y = komplementer
Pyt Qdx

Pyt Qdx
x & y = substritusi
Py Qdx

Py Qdx
Qdx = f (inc)
- Barang inferior
Inc Qdx
- Kebutuhan sehari-hari
Inc Qdx

d. Teori Permintaan
Dapat dinyatakan :
“Perbandingan lurus antara permintaan terhadap harganya yaitu apabila
permintaan naik, maka harga relatif akan naik, sebaliknya bila permintaan
turun, maka harga relatif akan turun.”

Gerakan sepanjang “dan perubahan kurva permintaan
a. Gerakan sepanjang kurva permintaan
Perubahan sepanjang kurva permintaan berlaku apabila harga barang
yang diminta menjadi makin tinggi atau makin menurun.

Rabu, 12 Januari 2011

PAJAK DAN RETRIBUSI

2.1.1 Konsep perpajakan
Para ahli perpajakan memberikan pengertian atau definisi berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian mempunyai arti dan tujuan yang sama. Munawir (1997: 5) mengutip pendapat Jayadiningrat memberi definisi pajak sebagai suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari pada kekayaan kepada negara disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman menurut peraturan-peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan akan tetapi tidak ada jasa balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum. Selanjutnya Munawir (1997 : 3) mengutip pendapat Rachmat Sumitro mendefinisikan pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin. Mangkoesoebroto (1993:181) menyatakan pajak adalah suatu pungutan hak prerogatif pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pungutannya dapat dipaksakan kepada subjek pajak di mana tidak dapat balas jasa secara langsung terhadap penggunanya.


Dari beberapa pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa unsur-unsur yang terkandung di dalam pengertian pajak yaitu:
1. pajak merupakan iuran masyarakat kepada negara dimana dapat diartikan yang berhak untuk melakukan pungutan pajak yaitu negara dengan alasan apapun swasta tidak boleh memungut pajak;
2. berdasarkan undang-undang (dapat dipaksakan);
3. pembayaran pajak tidak mempunyai kontraprestasi langsung secara individu artinya kontraprestasi diberikan oleh negara kepada rakyat dan tidak dapat dihubungkan secara langsung dengan besarnya pajak;
4. pajak diperuntukkan bagi pengeluaran pemerintah yang bersifat umum dalam arti bahwa pengeluaran pemerintah tersebut mempunyai manfaat bagi masyarakat secara umum;
5. pajak dipungut disebabkan sesuatu keadaan, kejadian atau yang memberikan kedudukan tertentu pada seseorang dengan demikian pajak hanya dapat dipungut oleh pemerintah;
6. pemerintah dapat memungut pajak kalau suadah ada undang-undangnya dan aturan pelaksanaanya;
7. pajak merupakan kewajiban masyarakat yang apabila diabaikan akan terkena sanksi sesuai undang-undang yang berlaku.
Pajak di samping sebagai sumber penerimaan negara yang utama (budgetair) juga mempunyai fungsi lain seperti alat untuk mengatur dan mengawasi kegiatan-kegiatan swasta dalam perekonomian (regulair). Pajak sebagai alat anggaran juga dipergunakan sebagai alat mengumpulkan dana guna membiayai kegiatan-kegiatan pemerintah terutama kegiatan rutin (Suparmoko, 1997:96). Oleh sebab itu kedua fungsi pajak di atas harus dijalankan secara seimbang karena apabila pengaturannya tidak dilaksanakan secara seimbang sangat berpengaruh terhadap kegiatan perekonomian
Pengenaaan pajak dapat menimbulkan eksternalitas yang dapat merugikan kepentingan umum, sehingga perlu adanya pengaturan untuk menjamin kelangsungan sumber daya dalam jangka panjang. Sehubungan dengan itu maka keputusan untuk mengenakan pajak terhadap suatu objek hendaknya dilakukan secara hati-hati dan bijaksana untuk menghindari terjadunya disinsentif bagi perekonomian.
Menurut Meier (1995:197-198) ada empat kriteria yang perlu dipertimbangkan untuk memungut suatu jenis pajak di negara yang sedang berkembang:
1. sebagai suatu sumber penerimaan potensial; maksudnya suatu jenis pajak harus dilihat sebagai suatu elastisitas pajak tersebut terhadap variabel-variabel makro ekonomi seperti PDRB, pendapatan per kapita dan jumlah penduduk;
2. dampak terhadap alokasi sumber ekonomi; untuk mengambarkan bahwa memadai tidaknya suatu perolehan pajak jika dikaitkan dengan bentuk dan besarnya dana yang diperlukan untuk memberikan layanan yang dibiayai sehingga beban suatu pajak dapat bermanfaat untuk mendorong penggunaan sumber daya ekonomi secara lebih efisien;
3. keadilan; yang dimaksud keadilan adalah menyangkut distribusi beban pajak, apakah tarif yang progresif atau menggunakan tarif tetap. Pembebanan pajak harus adil baik secara horizontal maupun vertikal;
4. administrasinya rendah; kriteria ini berkaitan dengan administrasi yang meliputi sistem penetapan sumber daya manusia aparatur, biaya pemungutan serta sarana dan prasarana pemungutan.

2.1.2 Pajak daerah
Menurut Davey (1988:40) secara umum perpajakan daerah dapat diartikan sebagai berikut:
1. pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;
2. pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional, tetapi penetapan taripnya oleh pemerintah daerah;
3. pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah;
4. pajak yang dipungut dan diadminitrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada, dibagihasilkan dengan, atau dibebani pungutan tambahan (opsen) oleh pemerintah daerah.
Di dalam ketatanegaraan Indonesia yang dimaksud dengan pajak berdasarkan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 18 tahun 1997 tentang pajak daerah dan retribusi daerah pasal 1 nomor 6 adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang simbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Selanjutnya untuk menilai pajak daerah menurut Devas,dkk (1989 : 61-62), dapat digunakan kriteria pengukuran sebagai berikut:
1. hasil (Yield) yaitu memadai tidaknya hasil suatu pajak dalam kaitannya dengan berbagai layanan yang dibiayainya, stabilitas dan mudah tidaknya memperkirakan besar hasil pajak tersebut; perbandingan hasil pajak dengan biaya pungut, dan elastisitas hasil pajak terhadap inflasi, pertumbuhan penduduk dan sebagainya;
2. keadilan (Equity) dasar pajak dan kewajiban membayarnya harus jelas dan tidak sewenang-wenang; pajak harus adil secara horisontal (artinya, beban pajak harus sama antara berbagai kelompok yang berbeda tetapi dengan kedudukan ekonomi yang sama); adil secara vertikal (artinya, beban pajak harus lebih banyak ditanggung oleh kelompok yang memiliki sumber daya yang lebih besar), dan pajak itu haruslah adil dari tempat ke tempat (dalam arti, hendaknya tidak ada perbedaan-perbedaan besar dan sewenang-wenang dalam beban pajak dari satu daerah ke daerah lain, kecuali jika perbedaan ini mencerminkan perbedaan dalam cara menyediakan layanan masyarakat);
3. daya guna ekonomi (Economic Efficiency). Pajak hendaknya mendorong (atau setidak-tidaknya tidak menghambat) penggunaan sumberdaya secara berdaya guna dan pilihan produsen menjadi salah arah atau orang menjadi segan bekerja atau menabung; dan memperkecil beban lebih pajak;
4. kemampuan melaksanakan (Ability to Implement), suatu pajak haruslah dapat dilaksanakan, dari sudut kemauan politik dan kemauan tata usaha;
5. kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah (Stability as a Local Revenue Source), ini berarti haruslah jelas kepada daerah mana suatu pajak harus dibayarkan, dan tempat memungut pajak sedapat mungkin sama dengan tempat akhir beban pajak; pajak tidak mudah dihindari, dengan cara memindahkan obyek pajak dari suatu daerah ke daerah lain; pajak daerah hendaknya jangan mempertajam perbedaan-perbedaan antara daerah, dari segi potensi ekonomi masing-masing, dan pajak hendaknya tidak menimbulkan beban yang lebih besar dari kemampuan tata usaha pajak daerah.

2.1.3 Konsep retribusi
Menurut Munawir (1997) Retribusi merupakan iuran kepada pemerintah yang dapat dipaksakan dan jasa balik secara langsung dapat ditunjuk. Paksaan di sini bersifat ekonomis karena siapa saja yang tidak merasakan jasa balik dari pemerintah dia tidak akan dikenakan iuran itu.
Lebih lanjut diuraikan pula definisi dan pengertian yang berkaitan dengan retribusi yaitu dikutip dari Sproule-Jones and White yang mengatakan bahwa retribusi adalah semua bayaran yang dilakukan bagi perorangan dalam menggunakan layanan yang mendatangkan keuntungan langsung dari layanan itu lebih lanjut dikatakan bahwa distribusi lebih tepat dianggap pajak konsumsi dari pada biaya layanan; bahwa retribusi hanya menutupi biaya operasional saja. Pada bagian lain Queen (1998 :2) menerangkan bahwa:


“Suatu tanggapan menekankan memperjelas kenyataan bahwa masyarakat memandang retribusi sebagai bagian dari program bukan sebagai pendapatan daerah dan bersedia membayar hanya bila tingkat layanan dirawat dan ditingkatkan.
Berdasarkan hal tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa bagian yang gampang dalam menyusun retribusi yaitu menghitung dan menetapkan tarif. Bagian tersulitnya adalah meyakinkan masyarakat (publik) tanpa diluar kesadaran mereka tarif tetap harus diberlakukan”.

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat dilihat sifat-sifat retribusi menurut Haritz (1995 : 84) adalah sebagai berikut:
1. pelaksanaan bersifat ekonomis;
2. ada imbalan langsung kepada membayar;
3. iurannya memenuhi persyaratan, persyaratan formal dan material tetapi tetap ada alternatif untuk membayar;
4. retribusi merupakan pungutan yang umumnya budgetairnya tidak menonjol;
5. dalam hal-hal tertentu retribusi daerah digunakan untuk suatu tujuan tertentu, tetapi dalam banyak hal tidak lebih dari pengembalian biaya yang telah dibukukan oleh pemerintah daerah untuk memenuhi permintaan masyarakat.

2.1.4 Retribusi daerah
Sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya diketahui bahwa beberapa atau sebagian besar pemerintah daerah belum mengoptimalkan penerimaan retribusi karena masih mendapat dana dari pemerintah pusat. Upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah perlu dikaji pengelolaan untuk mengetahui berapa besar potensi yang riil atau wajar, tingkat keefektifan dan efisiensi. Peningkatan retibusi yang memiliki potensi yang baik akan meningkatkan pula pendapatan asli daerah.
Devas, dkk (1989 : 46) mengungkapkan bahwa pemerintah daerah sangat tergantung dari pemerintah pusat. Dalam garis besarnya penerima daerah (termasuk pajak yang diserahkan) hanya menutup seperlima dari pengeluaran pemerintah daerah. Meskipun banyak pula negara lain dengan keadaan yang sama atau lebih buruk lagi. Memang pemerintah daerah tidak harus berdiri sendiri dari segi keuangan agar dapat memiliki tingkat otonom yang berarti, yang penting adalah “wewenang di tepi” artinya memiliki penerimaan daerah sendiri yang cukup sehingga dapat mengadakan perubahan di sana-sini. Pada tingkat jasa layanan yang disediakan, untuk itu mungkin sudah memadai jika 20% dari pengeluaran yang berasal dari sumber-sumber daerah. Hal tersebut diuraikan oleh Queen (1998 : 12-18) bahwa:
“Pertumbuhan lain dalam meningkatnya retribusi yaitu peran masyarakat (publik) dalam politik. Masyarakat tidak senang terhadap perubahan hanya akan toleransi terhadap pembayaran retribusi, bukan semata sebagai sumber utama pendapatan daerah tetapi hanya dana pendamping”.

Jumat, 07 Januari 2011

Model Pembangunan Desa Berdasarkan Karakteristik Potensi

L. Model Pembangunan Desa Berdasarkan Karakteristik Potensi
Paling tidak ada sembilan karakteristik perdesaan yang masing-
masingnya menggambarkan potensi alam dan potensi masyarakatnya. Dengan demikian model pembangunan perdesaan yang seharusnya dikembangkan dalam konsep sistem terbuka perencanaan strategis dalam pembangunan perdesaan yang kontekstual, adalah model-model pembangunan :
1. Desa persawahan,
2. Desa perladangan,
3. Desa perkebunan, Desa peternakan,
4. Desa perikanan,

5. Desa industri besar dan sedang, 6. Desa industri kecil dan kerajinan, 7. Desa jasa dan perdagangan, dan 8. Desa pariwisata.
1. Organisasi dan Peserta Penerima Program
Organisasi Pengembangan usaha terdiri dari :

1. Organisasi Pembina dan Pelaksana Utama adalah Pemerintah, Perguruan Tinggi dan LSM, sedangkan Koperasi Unit Desa (KUD) Desa. Segala kebutuhan dan hasil produksi pertanian terpusat di KUD, dan setiap anggota penerima program wajib menjadi anggotanya.

2. Organisasi Pembina Pendamping adalah :Dinas Daerah Terkait, dalam hal ini sebagai tenaga teknis dan penyuluh lapangan, antara lain misalnya : Dinas Tanaman Pangan, Peternakan, Perkebunan, Perikanan, Pertanahan, Kimpraswil, Pasar, Perindustrian Perdagangan dan Koperasi.
3. Organisasi Pengawas adalah Pemerintah Daerah melalui Bappeda dan
Bawasda adalah sebagai pengawas program.
Peserta yang menerima program adalah masyarakat miskin yang berada di
Desa.

Pemilihan dan penunjukan yang menjadi peserta program dilakukan dengan penyebaran Instrumen penelitian, wawancara dan pengamatan langsung terhadap masyarakat berupa aktifitas dan tempat tinggalnya. Proritas yang menerima program adalah masyarakat yang miskin yang sudah berkeluarga dan sudah menetap minimal 5 tahun, selain tidak memiliki usaha yang tetap, pendapatan rendah, tempat tinggal yang kurang memadai, juga dipertimbangkan mereka yang memiliki semangat kerja cukup tinggi. Atas dasar kriteria tersebut disusun daftar nama yang menerima program.

Daftar nama tersebut akan di cek lagi secara faktual di lapangan apakah benar-benar masyarakat miskin, jika masih ada masyarakat yang lebih berhak menerima bantuan program ini maka namanya akan diganti pada calon peserta yang lebih berhak menerimanya.
2. Jenis Usaha Menjadi Prioritas Pengembangan
Berdasarkan Survai yang dilakukan di lokasi penerima program dengan

mempertimbangkan :
1. Merupakan tanah datar dan berbukit-bukit;
2. Ketinggian sekitar 300 meter dari permukaan laut;
3. Jenis tanahnya berwarna kuning dengan kemasaman tanah antara 4,5
sampai dengan 5,5;
4. Iklimnya tropis dengan suhu udara berkisar antara 19,5 derajat celcius
sampai dengan 34,2 derajat celcius;

5. Sedangkan musim yang ada adalah musim hujan dan musim kemarau, musim hujan terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Maret dan musim kemaraunya terjadi pada bulan April sampai dengan bulan Agustus.

Selanjutnya di Desa Pengembangan terdapat lapangan kerja rumah tangga pertanian 116, perdagangan 3, buruh/ karyawan 3, dan jasa 3. Sedangkan atau di desa yang lain terdapat lapangan kerja rumah tangga pertanian 107, perdagangan 3, buruh/ karyawan 5, dan jasa 3. Ini berarti sebahagian besar masyarakat disini sudah memiliki budaya bertani dan berkebun dan memang kondisi alamnya cukup mendukung atau potensial. Tradisi berkebun dengan pemilihan tanaman antara lain : karet, kelapa (kopra), pisang, nangka, mangga, jambu air, pepaya, petai, jengkol dan nenas. Jenis tanaman pertanian, antara lain : padi sawah dan ladang, plawija, kacang- kacangan, sayuran, dan bumbu masak. Sedikit perikanan darat dengan jenis ikan nila dan mas. Petrnakan yang menjadi prioritas adalah ayam kampung, sapi, kerbau dan kambing.

Jika dilihat dari peluang pasar lokal di suatu daerah dan sekitarnya, maka jenis produksi pertanian dan perkebunan yang diminati pasar dan memiliki potensi dapat dikembangkan, misalnya adalah jenis usaha yang menghasilkan : I. Kebutuhan Pokok adalah:

1. Beras;
2. GulaPasir;
3. MinyakGoreng
4. DagingSapi
5. DagingAyamBroiler

6. Daging Ayam Ras
7. Daging Ayam Kampung
8. Telur Ayam Ras
9. Telur Ayam Kampung
10. JagungPipilan
11. Ketela Pohon Umbi Basah
12. Ketela Rambat Umbi Basah
13. TepungGaplek
14. Kacang Tanah (Wose)

15. Kedelai(Lokal)
16. KacangHijau
17. Sagu
18. Berbagai Jenis Ikan Sungai dan Kolam, dsbnya
II. Jenis Sayuran :
1.
Bayam
2. BawangPrey
3. BawangMerah
4. Bawang Putih Lokal
5. Buncis
6. Cabe Merah Besar
7. Cabea Merah Keriting
8. CabeRawit
9. Kangkung
10. Ketimun

11. Petsai/ Sawi Panjang
12. Kentang Mutu Sedang
13. Tomat Mutu Sedang

14. Wortel
15. Terong
16. KacangPanjang
17. LabuSiam
18. Paria
19. Gambas,dsbnya
III. Buah-buahan adalah :

1. Alpokat
2. JerukManis
3. JerukNipis
4. Mangga
5. Nenas
6. Rambutan
7. PisangAmbon
8. PisangTanduk
9. Pisang Raja Serai

10. PisangBarangan
11. Semangka
12. Manggis
13. Pepaya
14. Sawo
15. Duku
16. Durian
17. Kedondong
18. Jambu Biji, dsbnya

Dengan demikian apabila dilihat dari potensi geografis, topografi, budaya usaha, modal, teknologi dan pelung pasar maka usaha yang menjadi prioritas untuk dikembangkan di suatu Desa yang menjadi contoh dalam model analisis pendekatan potensi alam, budaya usaha dan pertimbangan permintaan pasar adalah sebagai berikut :

1. Tanaman Pokok adalah Perkebunan Kelapa Sawit, masing-masing petani 6 ha; dengan pertimbangan untuk penghasilan jangka panjang dan memiliki nilai ekonomis tinggi, selain mudah memasarkan produknya.

2. Ternak ayam potong adalah selain memberikan penghasilan utama menjelang panen kelapa sawit, juga diharapkan dapat menghasilkan pupuk kandang. Pupuk kandang ini dibutuhkan untuk pupuk kelapa sawit, pupuk tanaman plawija, umbi-umbian, buah-buahan dan sayuran.
3. Tanaman tumpang sari di areal sawit 2 ha, jenis tanaman untuk setiap
petani berbeda atau tidak boleh seragam, antara lain :

1. Jenis Tanaman Pangan :
a. Jagung Pipilan
b. Ketela Pohon Umbi Basah
c. Ketela Rambat Umbi Basah
d. Kacang Tanah
e. Kcang Kedelai
f. Kacang Hijau, dsbnya
2. Peikanan Darat :
a. IkanNila
b. Lele Jumbo, dsb
3. Jenis Buah-buahan :
a. Alpokat
b. Jeruk Nipis
c. Nenas
d. Pisang Ambon
e. Pisang Tanduk
f. Pisang Raja Serai
g. Pisang Barangan
h. Semangka
i. Pepaya
j. Sawo, dsbnya
4. Jenis Sayuran :
a. Bayam
b. Bawang Prey
c. Bawang Merah
d. Bawang Putih Lokal
e. Buncis
f. Cabe Merah Besar
g. Cabe Merah Keriting
h. Cabe Rawit
i. Kangkung
j. Ketimun

k. Petsai/ Sawi Panjang
l. Kentang Mutu Sedang
m. Tomat Mutu Sedang

n. Terong
o. Kacang Panjang
p. Labu Siam
q. Paria, dsbnya
3. Biaya, Mekanisasi dan Teknologi

Pembiayaan investasi, modal kerja, dan pengadaan mekanisasi dan teknologi adalah merupakan shering antara Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota, Bantuan atau Pinjaman Lunak Luar Negeri (Bank Bunia, ADB) dan swasta Nasional atau Daerah dengan pola kemitraan.
4. Model Pola Kemitraan
a.Pemerintah berperan memberikan pelayanan kepada investor,

kemudahan, insentif dan kepastian hukum serta menyediakan infrastruktur yang dibutuhkan pengusaha. Lembaga Teknis pemerintah dan Perguruan Tinggi serta LSM melakukan pembinaan dan pengembangkan teknologi.
b.Pengusaha atau pemilik modal berperan mendirikan industri
pengolahan dan dukungan modal kerja dan teknologi serta pelatihan
kerja dalam skil yang dibutuhkan perusahaan.
c.Masyarakat sebagai petani selain bekerja, memiliki lahan dan ikut
memiliki sahan dalam Pabrik industri pengolahan.
5. Balai Latihan Keterampilan

Pemerintah dan pemilik modal berkewajiban mengadakan balai latihan, kursus keterampilan bagi setiap peserta atau penerima program dalam rangka pengembangan SDM sesuai dengan tuntutan kebutuhan.
6. Tahapan Persiapan, Pengolahan Lahan, Produksi dan Pemasaran
1. Penyiapan lokasi:
a. Pembangunan bangunan kantor dan perlengkapan KUD (pusat
kegiatan)

b. pembersihan lahan dengan teknologi mekanisasi
c. pembangunan kandang ayam
d. pembangunan instalasi air bersih
e. pembangunan instalasi listrik
f. pembelian peralatan dan perlengkapan, perkebunan dan
pertanian

2. Perkebunan Kelapa Sawit :
a. Pembuatan lobang tanam untuk Kelapa Sawit
b. Penanaman bibit kelapa sawit
c. Pemeliharaan sampai panen
d. Pemasaran

3. Ternak ayam potong :
a. Pembuatan kandang
b. Pemelian tempat makan, tempat minum, terpal jendela
kandang, bibit, pakan, obat-obatan, semprot kandang ayam
potong
c. Pemeliharaan dan panen
d. Pemasaran

4. Tanaman Sayuran dan Buahan :
a. Pengolahan tanah
b. Penyemaian dan penanaman
c. Pemeliharaan dan panen
d. Pemasaran

Apa yang diuraikan tersebut di atas hanyalah beberapa contoh, namun prinsip pengembangan usaha dalam rangka membuka lapangan kerja, meningkatkan pendapatan perkapita dan kepemilikan atas asset dan peningkatan SDM petani adalah tetap mengacu konsep pengembangan ekonomi kerakyatan ( 8 faktor keberhasilan) yang penulis sebutkan di atas tadi. Selain itu juga pertimbangan potensi setempat, pengembangan SDM dan pemilihan tanaman yang sesuai dengan peluang pasar lokal, regional, nasional dan Internasional.

Pendekatan Kebijakan Pengembangan Usaha Berpusat di Perdesaan

K. Pendekatan Kebijakan Pengembangan Usaha Berpusat di Perdesaan

Dalam kerangka acuan pembangunan nasional, pembangunan yang memberdayakan masyarakat di perdesaan harus menjadi pusat perhatian dan tanggung jawab bersama. Membangun masyarakat perdesaan berarti pula membangun sebagian besar penduduk Indonesia. Selain memiliki potensi sumber daya manusia, perdesaan juga memiliki potensi sumber daya alam.

Dengan demikian pembangunan masyarakat pedesaan Indonesia harus menjadi pusat perhatian yang lebih serius, terencana, terpadu dan berkesinambungan, serta dipercepat prosesnya, sebagaimana telah ditegaskan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999–2004 sebagai TAP MPR No. IV/ MPR /1999 (huruf G angka 1. d), bahwa perlu percepatan pembangunan perdesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan program prasarana, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam.

Berkaitan dengan prinsip-prinsip birokrasi pemerintahan yang efektif (Osborne dan Gaebler, 1992:281; Osborne dan Plastrik, 1996:349) dalam perspektif kontekstual (Friedmann, 1981:42; Findley, 1987:19; Bryant dan White, 1989:378; Saefullah, 1995:13) menyatakan bahwa pendekatan pembangunan yang berpihak kepada kepentingan masyarakat dan berdasarkan situasi kondisi internal dan eksternal yang merupakan faktor-faktor kunci keberhasilan, antara lain berupa potensi, kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan, tidak dapat diabaikan. Demikian pula halnya dalam upaya penerapan Otonomi Daerah (UU No. 22 Tahun 1999) membutuhkan suatu strategi adaptasi antara modernisasi dengan tradisi.
Strategi dan kebijakan pembangunan yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat dan potensi yang ada di perdesaan, tentunya tidak efisien, mengingat pada kenyataannya perdesaan di Indonesia memiliki perbedaan karakteristik antara satu Desa dengan Desa yang lain (Saefullah, 1995:13). Karena itu, menurut Findley (1987:19) menyatakan bahwa keberhasilan pembangunan perdesaan sangat ditentukan bagaimana terciptanya kesesuaian antara perencanaan pembangunan yang dibuat dengan potensi yang ada, kebutuhan dan keinginan masyarakat di perdesaan.

Berdasarkan survey awal di lokasi penelitian, meskipun dalam prakteknya mekanisme perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan masuk perdesaan telah melibatkan kelembagaan perdesaan yang memiliki kewenangan untuk itu. Namun pada kenyataannya terdapat indikasi kuat kurang efektifnya perencanaan dan implementasi program pembangunan perdesaan yang dirumuskan pemerintah daerah, perusahaan besar maupun LSM. Hal ini dikarenakan pembangunan masyarakat perdesaan terutama petani dan nelayan belum dapat melepaskan diri mereka dari kemiskinan. Kenyataan yang demikian yang membuat penulis tertarik untuk melakukan penelitian dan pembinaan terutama pada masyarakat di desa yang terisolir.

Sebagimana telah diuraikan bahwa rencana maupun program pembangunan ekonomi, pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, industi, pariwisata, perdagangan, dan lain-lain harus disesuaikan dengan potensi sosial dan potensi alam setempat, yang kemudian dikaitkan pula dengan peluang- peluang pasar lokal, regional, nasional dan pasar internasional.

Untuk mewujudkan rencana dan program yang demikian dibutuhkan dukungan sumber dana dan manusia dari berbagai pihak : Pemerintah Daerah, Perguruan Tinggi, Perusahaan Besar, Perbankan, Balai Pelatihan, Koperasi, LSM dan lain sebagainya dalam rangka pembinaan masyarakat tani dan nelayan di perdesaan.

Dukungan dana dan pembinaan diperlukan masyarakat tani dan nelayan terutama ditujukan pada manajemen usaha, pengolahan lahan, efisiensi dan efektivitas berusaha, dan bantuan teknologi termasuk pembinaan memasarkan produk. Semuanya itu dilakukan dalam rangka proses pembelajaran dan
pemberdayaan dalam rangka kemandirian masyarakat tani dan nelayan.

Dalam hal ini diperlukan suatu kajian analisis potensi alam dan potensi masyarakat setempat untuk membuat suatu proyek desa percontohan dalam rangka mengembangkan jenis-jenis usaha apa saja yang perlu dikembangkan yang dilakukan secara terintegral dan terpadu dan memerlukan dukungan dana dan pemibinaan dari perguruan tinggi.

Oleh karena itu, pada bahagian ini penulis tertarik untuk meneliti dengan memfokuskan pada analisis tentang potensi alam dan potensi masyarakat setempat yang dikaitkan dengan peluang pasar lokal, regional, nasional dan internasional dalam rangka menetukan proyek percontohan usaha apa yang perlu dikembangkan pada suatu komunitas kelompok masyarakat atau pada suatu desa. Setelah itu dilakukan pembinaan, yairu : melakukan pemilihan usaha yang berbasiskan potensi desa dan dikaitkan dengan peluang pasar (market); melakukan pelatihan terhadap SDM petani, memberikan dukungan finansial, pengolahan lahan decara mekanik dalam skala luas, pembinaan lembaga Koperasi, dan penerapaqn teknologi. Kesemuanya itu diharapkan melahirkan suatu desa yang dapat dijadikan contoh dalam pengembangan usaha pertanian terpadu yang memiliki efek ganda (multi efec) dalam rangka pengurangi tingkat kemiskinan dan kebodohan.

Permasalahan selama ini adalah ”Rencana dan implementasi program dan kegiatan pembangunan pertanian di perdesaan dalam usaha mencapai keberhasilan pembangunan perdesaan kurang didasarkan pada potensi alam dan sosial setempat serta kurang dikaitan dengan peluang pasar lokal, regional, nasional dan internasional” serta belum optimal dalam pembinaan SDM petani, memberikan dukungan finansial dan penggunaan teknologi.

Ada beberapa hal penting yang harus terungkap apabila ingin pengembangkan usaha di desa dalam rangka kemiskinan dan kebodohan antara lain :
1. Apa potensi alam dan sosial suatu komunitas masyarakat atau desa;
2. Jenis usaha apa saja yang perlu dikembangkan dikaitkan dengan potensi alam dan sosial pada suatu komonitas setempat atau pada suatu desa yang dikaitkan dengan peluang pasar;
3. Bagaimana pembinaan yang harus dilakukan terhadap petani atau
masyarakat miskin dalam berusaha;

4. Bagaimana mengoptimalkan dukungan finansial dari pemerintah Daerah Kabupaten, Provinsi dan Pusat sehingga penggunaan dana tidak konsumtif, tetapi memilki nilai ganda dalam rangka penyediaan modal kerja, pembinaan SDM petani dan penerapan teknologi pertanian.

Dari potensi, kelemahan , peluang dan tantangan pengembangan usaha masyarakat di desa tersebut di atas, apabila dikaji karakteristik pengembangan usaha di Provinsi Riau dapat saja berupa pembukaan perkebunan dalam sekala luas dengan kebijakan redistribusi asset kepada petani dan nelayan atas dasar dukungan kerjasama Pemerintah, suasta dan masyarakat dan pertimbangan karakteristik potensi alam dan berorientasi kepada pasar (market).

Salah satu strategi yang diterapkan adalah seluruh kegiatan perkebunan dan pertanian dipusatkan pada suatu KUD sebagai pusat lembaga perekonomian dan seluruh peserta program wajib menjadi anggotanya. Ini adalah merupakan proses pemberdayaan masyarakat. Dimana pada suatu ketika masyarakat sudah mampu mengrus usahanya maka KUD beserta assetnya akan diserahkan. Hal ini atas dasar konsep, bahwa pemberdayaan masyarakat akan terjadi apabila :
1. Dalam jangka waktu tertentu masyarakat harus mampu berusaha sendiri;
2. Pada tahap awal diberikan modal dan pembinaan;

3. Pemerintah, Lembaga perguruan Tinggi, Pengusaha (investor) dan LSM, bertindak sebagai agen perubahan (pembangunan) dengan menyediakan kebutuhan usaha masyarakat, berupa:
a. investasi dan modal kerja dengan cuma-cuma atau kredit lunak
tanpa bunga;
b. Bantuan dan Penyediaan mekanisasi pertanian, teknologi (bibit
unggul, pupuk dan racun hama penyakit);
c. Tenaga ahli sebagai pembina/pendamping;
d. Membantu proses terbentuknya Organisasi/Lembaga Ekonomi

berupa KUD;
e. Memberikan pelatihan dan keterampilan secara cuma-cuma;
f. Memberi motivasi dan etos kerja;
g. Membantu dalam memasarkan hasil produksi.
h. Pemerintah,
perguruan
tinggi
dan
LSM,

berkewajiban menjembatani pola kemitraan (saling menguntungkan) antara petani dengan pengusaha, petani sebagai pelaksana pengadaan bahan baku dan Perusahaan menyediakan pabrik pengolahan.

Sebagai ciri negara agraris menuju industri, perkebunan kelapa sawit atau apapun dalam sekala luas yang sesuai dengan kondisi lahan dan budaya bertani masyarakat lokal yang diminta pasar, diharapkan sebagai penghasilan untuk jangka panjang. Sedangkan usaha lain sebagai tumpang sari atau melengkapi, misalnya ternak ayam potong, tanaman sayuran dan buah-buahan merupakan penghasilan jangka pendek.

Dasar pemikirannya adalah sambil menunggu 4-5 tahun sawit berproduksi, penghasilan tanaman tumpang sari dan ternak ayam potong diharapkan sebagai sumber untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Selain itu pupuk kandang ayam potong dapat bermanfaat untuk pupuk kandang perkebunan kelapa sawit.

Namun demikian setelah 4-5 tahun, apabila sawit sudah menghasilkan maka masyarakat sebagai peserta program sekarang harus mengembalikan biaya atau modal yang telah diterimanya kepada KUD dengan cara mencicil perbulan tanpa dikenakan biaya bunga dalam jangka waktu yang sangat meringankan. Ikatan ini dilakukan dalam suatu surat perjanjian, dengan jaminan kebun sawitnya. Kemudian dana yang terkumpul di koperasi setelah 4-5 tahun selain untuk pengembangan usaha digulirkan kembali kepada masyarakat yang belum menerima program dengan pelaksanaan program menggunakan sistem yang sama.

Pendekatan Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi

J. Pendekatan Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi

Dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilakukan dengan menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mendukung perekonomian masyarakat. Misalanya KUD, Bank Pembangunan Daerah atau BPR, Pasar dan pengadaan sarana produksi dan distribusi Daerah. Apabila semua masyarakat usahanya sudah diwadahi oleh KUD yang didukung pula dengan pengadaan sarana produksi dan distribusi, sementara Bank Pembangunan Derah atau lembaga keuangan lainnya menyediakan fasilitas kredit untuk modal usaha dan modal kerja maka diharapkan masyarakat lebih akses dan berdaya dalam berusaha.

Penumpukan produksi dapat pula diatasi apabila KUD dan berbagai lembaga perekonomian lainnya benar-benar berfungsi tidak saja sebagai wadah produksi, melainkan juga sebagai penyalur (distribusi) produk daerah ke pasar lokal, regional bahkan ke pasar Internasional.

Dukungan Pemerintah yang sangat dibutuhkan di sini adalah pembinaan lembaga perekonomian dan dukungan (support) dana yang dititipkan pada lembaga KUD atau lembaga keuangan (Bank Perkeriditan Rakyat). Alternatif ini perlu lilakukan, karena pengalaman telah membuktikan bahwa dana yang disalurkan melalui berbagai program/proyek ternyata kurang efektif untuk mengangkat harkat dan martabat manusia di daerah sebagaimana maksud dan tujuan program/proyek diadakan. Sebagai akibat dari proses dan struktur program/proyek terlalu birokratis dan regulasi. Selain dari itu, dukungan Pemerintah diperlukan pula dalam hal memberi informasi produk daerah apa saja yang dibutuhkan pasar lokal, regional dan pasar Internasional.

Secara umum pembangunan di bidang fisik khususnya penyediaan sarana dan prasarana di daerah belum pula optimal. Misalnya, yang hampir terlupakan adalah pengadaan fasilitas dan perangkat pendukung pelatihan kerja kepada petani dan nelayan. Selain bertujuan meningkatkan kemampuan petani dan nelayan pelatihan ditujukan pula kepada proses pengenalan dan adaptasi teknologi baru terhadap teknologi dan budaya kerja setempat. Tidak mungkin petani dan nelayan kita akan mencapai taraf kemajuan yang lebih baik tanpa menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknologi dalam berusaha tani, meskipun telah didukung oleh sarana dan prasarana umum yang memadai.

Selanjutnya, dalam bidang pembangunan lingkungan hidup di daerah ternyata hasilnya belum pula optimal. Masih terdapat beberapa faktor kerusakan lingkungan, khususnya tanah perdesaan di Riau yang disebabkan oleh faktor alam dan ulah manusia. Kerusakan karena faktor alam banyak disebabkan oleh gelombang pasang terutama

Desa-desa pesisir dan pantai. Sedangkan kerusakan karena faktor ulah manusia disebabkan oleh sikap yang berlebihan dari perusahaan (investor) dalam pembukaan lahan perkebunan. Mengakibatkan gundulnya hutan yang berdampak pada tingkat erosi tanah yang cukup tinggi. Faktor kerusakan tanah yang lain disebabkan adat atau tradisi pembagian tanah warisan, sehingga lahan menjadi sempit dan kurang produktif (pregmentatie), tanpa ada usaha membuka lahan baru yang lebih luas.

Pembangunan daerah di Riau termasuk gagal dalam mengatasi masalah kesenjangan sosial yang cukup lebar yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai akibat tidak meratanya pembagian sumber-sumber produksi. Sekelompok orang dengan mudahnya memiliki dan menguasai faktor produksi yang diperoleh dari sumber kekayaan negara dan Daerah sebagai akibat kebijakan Pemerintah terlalu berlebihan dan berpihak kepada sekelompok konglemerat yang dianggap memiliki peran dalam pertumbuhan perekonomian. Di pihak lain, mayoritas masyarakat usaha menengah, kecil dan koperasi tidak memperoleh akses dan kesempatan mendapatkan sumber-sumber produksi yang dikuasai negara dan Daerah akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
Strategi pembangunan yang berpihak kepada rakyat

Ekonomi kerakyatan) yang hanya menguasai usaha menengah dan kecil sudah sangat mendesak dilaksanakan, melalui kebijakan parampingan birokrasi dan deregulasi diberbagai peraturan, misalnya dalam pemberian kredit investasi dan modal kerja kepada usaha kecil dan ekonomi lemah harus lebih dipermudah. Tentunya, jika Pemerintah Daerah benar-benar ingin mengatasi masalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan ekonomi dalam pembangunan dimasa yang akan datang.

Visi dan misi Riau 2020 akan mendekati kenyataan apabila semua pihak: pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat memiliki komitmen dan dapat bekerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Terutama dalam kegiatan produksi dan distribusi dengan memanfaatkan potensi alam dan masyarakat secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan, apabila mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis dari potensi yang dimiliki luas lahan dan potensi kelautan dimanfaatkan pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat untuk kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, industri dan perdagangan secara professional, ekonomis dan berteknologi tinggi.

Di Riau dalam hal pembangunan ekonomi kerakyatan belumlah dapat dikatakan berhasil. Pembangunan perekonomian masyarakat di Riau telah menimbulkan dampak terjadinya kesenjangan sosial dan kesenjangan tingkat pendapatan yang cukup tinggi.

Ada sekelompok kecil masyarakat sebagai pemilik perusahaan pertambangan, perkebunan, industri pengolahan (manufactur) kayu lapis, telah meraih keuntungan dengan pendapatan perkapita yang cukup tinggi atas sumber-sumber kekayaan alam di Riau, sedangkan sebahagian besar masyarakat terutama yang tinggal di perdesaan pendapatan perkapitanya cukup
kecil.

Dengan meningkatnya persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di Riau, membuktikan bahwa hasil pembangunan yang dinikmati masyarakat sampai lapisan terbawah (trickle-down effect) yang melekat pada paradigma pertumbuhan (growth paradigm) ternyata tidak terwujud bahkan yang terjadi justru kesenjangan semakin melebar.

Sebagai akibat penerapan secara bulat konsep ekonomi liberal kapitalis, tanpa menyesuaikan dengan peradaban sosial budaya masyarakat daerah di Provinsi Riau, ternyata kemajuan-kemajuan ekonomi daerah di Provinsi Riau dianggap telah gagal, karena hanya menguntungkan sebahagian kecil individu dan kelompok dalam masyarakat.

Sebagai akibat kebijakan pembangunan yang keliru tersebut, ternyata sekelompok individu dalam masyarakat yang tinggal di ibu kota sudah baik keadaannya, secara ekonomi lebih mampu dan dapat memanfaatkan sumber- sumber kekayaan Daerah Provinsi Riau. Sebahagian kecil jumlah masyarakat ekonomi kelas atas selalu mendapat peluang dan kesempatan yang lebih luas bila dibandingkan dengan mayoritas masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah kumuh atau kantong kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Dengan demikian yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan menjadi lebih miskin lagi.

Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Kalau demokrasi ekonomi dijabarkan maka bermakna produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian dalam demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Kemakmuran yang hendak dicapai haruslah kemakmuran atas dasar keadilan sosial.
Dewasa ini masalah yang masih mengganjal

bagi pembangunan demokrasi ekonomi di Provinsi Riau berdasarkan hasil penelitian yaitu masih adanya ketidakseimbangan kemampuan dan kesempatan berusaha antara pihak-pihak diberbagai lapisan masyarakat antara yang menguasi dengan yang tidak menguasi sumber-sumber produksi. Sudah saatnya dimasa yang akan datang pembangunan ekonomi yang berakar kepada kerakyatan dianggap lebih tepat di terapkan di Provinsi Riau. Selain dapat meningkatkan kemampuan masyarakat yang berpenghasilan rendah, juga sebagai upaya Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam menciptakan pemerataan pendapatan dan sekaligus mengatasi kesenjangan sosial. Diantara upaya yang perlu dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Riau termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota adalah kebijakan debirokratisasi dan deregulasi yang transparan dan seadil-adilnya.

Dalam rangka peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat di daerah Provinsi Riau tidak lain dengan memberdayakannya. Strategi yang dikembangkan adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan melalui upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

Pemberdayaan masyarakat perdesaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, melainkan termasuk pula membangun pranata- pranatanya, dalam hal menanamkan nilai-nilai budaya modern misalnya kerja keras, keterbukaan, hemat, dan bertanggung jawab. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial daerah dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya melalui proses pembelajaran.

Pengembangan ekonomi yang berakar pada kerakyatan tetap pula mengacu pada pertumbuhan, pemerataan, stabilitas dan peningkatan sumber daya manusia. Selain itu perlu pula mempercepat berbagai proses perubahan dari masyarakat daerah yang masih berpikir dan berprilaku tradisional ke masyarakat modern, dari sistem ekonomi yang subsistem ke ekonomi pasar, dan dari ketergantungan masyarakat

terhadap pemberi bantuan menuju kemandirian dan pemberdayaan. Dalam hal ini sasaran ekonomi kerakyatan di daerah tidak lain adalah petani dan nelayan. Dalam kebijakan ekonomi kerakyatan, petani harus diberi hak kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah sebagai lahan pertanian, disediakan pula fasilitas kredit untuk permodalan
dan teknologi tepat guna dalam rangka efektivitas berusaha.

Dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilakukan dengan menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mendukung perekonomian masyarakat. Misalanya KUD, Bank Daerah, Pasar dan pengadaan sarana produksi dan distribusi. Apabila semua masyarakat usahanya sudah diwadahi oleh KUD yang didukung pula oleh pengadaan sarana produksi dan distribusi, sementara Bank Daerah atau lembaga keuangan lainnya menyediakan fasilitas kredit untuk modal usaha dan modal kerja maka diharapkan masyarakat lebih akses dan berdaya dalam berusaha.

Penumpukan produksi dapat pula diatasi apabila KUD benar-benar berfungsi tidak saja sebagai wadah produksi, melainkan juga sebagai penyalur (distribusi) produk daerah ke pasar lokal, regional bahkan ke pasar Internasional.

Dalam perkembangannya, keberadaan investor di daerah sering menimbulkan konflik antara pemilik modal dengan petani sebagai pemilik lahan. Pada sisi yang lain, keberadaan investor untuk menanamkan modalnya dalam rangka pemanfaatan potensi alam dan tenaga kerja sangat diharapkan masyarakat. Jalan tengah yang terbaik sebagai solusinya adalah perencanaan pembangunan harus pula menciptakan kerjasama dan saling ketergantungan (komensalisma) anatara investor dan petani.

Efektivitas penerapan teknologi daerah dapat dicapai dengan cara memadukan teknologi sendiri dengan teknologi dari luar, karena dianggap lehih cepat tingkat pemahaman dan diharapkan lebih efektif dan efisien. Upaya penerapan inovasi dan teknologi di daerah, membutuhkan suatu strategi adaptasi antara modernisasi dengan tradisi.

Pendekatan pembangunan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia daerah, dapat dilakukan yaitu melalui penyuluhan, pelatihan, swadaya terpadu dan pembangunan terpadu. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dipandang sebagai bagian pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial, karena itu investasi harus diarahkan bukan saja
untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan juga kesehatan dan gizi.

Salah satu kegagalan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah karena ketidakmampuan Kepala Daerah bersama DPRD dalam menyusun APPD. Dimasa yang akan datang salah satu faktor terpenting yang perlu direformasi dalam rangka proses pembelajaran menuju pemberdayaan masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan Daerah perlu menata kembali sistem anggaran pendapatan dan belanja pembangunannya supaya lebih berkualitas, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada kebijakan pembangunan daerah di Provinsi Riau yang berakar kepada kerakyatan, ada beberapa faktor penting yang harus dikembangkan di masa yang akan datang, antara lain :
Pertama, faktor sumber daya manusia. Sebagaimana telah diketahui

ada dua kelompok pelaku dalam pembangunan yaitu Pemerintah dan masyarakat. Kedua pelaku pembangunan ini adalah sama-sama penting dan memberikan akses bagi pembangunan. Kedua pelaku pembangunan ini sama- sama perlu ditingkatkan kemampuan sumber daya manusianya. Walaupun dipihak Pemerintah telah cukup memadai kekampuan daya pikir dan nalarnya dalam berkreativitas, namun dipihak masyarakat dirasakan masih banyak kelemahan, jika dilihat dari sisi sumber daya manusianya. Oleh karena itu dalam pengembangan ekonomi kerakyatan di daerah Provinsi Riau, perlu diberikan pendidikan dan pelatihan kepada petani dan nelayan, dalam rangka efektivitas dan efisiensi dalam berusaha. Selain itu instansi yang terkait menyangkut masalah kegiatan pertanian harus pula rutin dan lebih serius lagi dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan.
Kedua, faktor lahan pertanian. Dalam pengembangan ekonomi

kerakyatan di daerah Provinsi Riau, faktor pemilikan lahan oleh petani sangat penting, dan justru perlu pengaturan, pembagian, dan penataan kembali kepemilikan hak-hak atas tanah. Selain perusahaan-perusahaan besar Pemerintah (BUMN) dan swasta yang menguasi lahan untuk perkebunan dengan areal yang begitu luas, meskipun hanya dengan hak guna usaha atau hak pakai dan sebahagian lagi penduduk kota yang begitu banyak menguasai lahan yang tidak produktif maksudnya tidak diusahakan, melainkan hanya untuk memperoleh keuntungan dari hasil jual-beli sebagai pakang tanah. Sementara pada sisi yang lain petani kita yang ingin melakukan kegiatan usaha pertanian tidak mempunyai cukup lahan, sebagai akibat tidak mampu untuk membelinya atau tidak memiliki modal untuk membuka lahan baru. Dimasa yang akan datang, Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui Dinas Pertanahan harus benar-benar melakukan pemetaan, pembagian dan penggunaan lahan pertanian secara transparan dan seadil-adilnya, sehingga lahan-lahan yang tidak produktif dapat diserahkan kepada masyarakat yang tidak memiliki atau lahannya sangat sempit untuk kegiatan berusaha.
Ketiga, faktor permodalan. Selain masalah lahan pertanian, petani di

daerah Provinsi Riau, perlu pula memiliki modal dalam arti dana untuk investasi dan modal kerja. Jika tidak ada dana, sudah barang tentu petani tidak akan mungkin memiliki peralatan, bibit tanaman yang unggul, pupuk, racun hama dan biaya hidup selama kegiatan produksi. Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus membuat program bantuan permodalan sebagai upaya mengatasi kesulitan permodalan petani dalam rangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Program

permodalan petani untuk kegiatan berusaha, dapat dilakukan Pemerintah melalui kebijakan kredit lunak melalui bank milik Pemerintah Daerah, misalnya melalui Bank Pembangunan Daerah Riau (BPD Riau), Bank Syariah dan PT.PER atau program bantuan khusus disalurkan kepada KUD atau Bank Desa yang telah dibentuk dan dibina secara mapan.
Keempat, faktor teknologi. Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan

yang sangat kompleks dan membutuhkan banyak modal, pengetahuan khusus dan teknologi tepat guna. Dengan penggunaan teknologi, misalnya : bibit unggul, pupuk, racun hama, dan peralatan mekanik, kegiatan pertanian diharapkan lebih efisien dan produktif. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan ekonomi kerakyatan, petani secara menyeluruh harus dapat menikmati penggunaan bibit unggul, pupuk, racun hama, dan perlatan mekanik yang mudah didapat dan dengan harga yang relatif terjangkau oleh petani. Semua teknologi tersebut seharusnya tetap selalu tersedia, namun dalam kenyataannya di daerah Provinsi Riau teknologi tersebut sangat sulit didapat dan harganyapun relatif cukup tinggi, terutama peralatan mekanik untuk kegiatan pengolahan lahan dan untuk kegiatan pasca panen. Karena itu kebijakan pengembangan dan penemuan baru di bidang teknologi pertanian harus tetap selalu ditingkatkan, dalam rangka produktivitas, efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha tani. Upaya tersebut dapat dilakukan apabila Pemerintah Daerah Provinsi Riau mau bekerjasama dengan lembaga riset dan teknologi melalui berbagai perguruan tinggi yang ada di Daerah, misalnya dengan Fakultas Teknik dan Fakultas pertanian UNRI, UIR atau UNILAK.
Kelima, faktor distribusi dan pemasaran. Setelah kegiatan produksi

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan. Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan distribusi dan pemasaran hasil produksi harus ditata sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa setiap hasil pertanian tetap terjual di pasaran lokal, regional dan internasional. Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus menciptakan pengaturan dalam rangka memasarkan produk pertanian di daerah. Pemasaran lokal diserahkan kepada Koprasi Unit Desa dan pemasaran regional dan internasional harus ada koordinasi antara instansi terkait, misalnya: Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Industri dan Perdagangan, Dinas Perhubungan, Badan Gugus Kendali Mutu, termasuk pula Badan yang mengatur kegiatan Ekspor-Inpor.
Keenam, pemberdayaan koperasi.Perubahan mendasar pada fungsi

koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan adalah dengan telah dikeluarkannya UU. No. 25 Tahun 1992, bahwa koperasi tidak lagi semata-mata sebagai organisasi ekonomi bertujuan sosial melainkan sebagai organisasi ekonomi yang mencari keuntungan untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat luas. Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang dimaksud, struktur koperasi termasuk KUD di Provinsi Riau yang selama ini kurang efektif perlu dilakukan perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Tidak saja perluasan usaha, manajemen yang baik, struktur modal yang kuat sampai kepada peningkatan sumber daya manusia pengurus dan keanggotaannya. Dengan demikian, strategi pemberdayaan koperasi, seharusnya diarahkan kepada :Pertama, posisi, peran dan fungsi Pemerintah Daerah haruslah mendorong peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat melalui koperasi;
Kedua, meningkatkan kegairahan, kesadaran, dan kemampuan berkoperasi di

seluruh lapisan masyarakat;Ketiga, meningkatkan kemitraan usaha diantara sesama lembaga koperasi, dan antara koperasi dengan usaha swasta dan BUMN lainnya; danKeempat, menciptakan iklim berusaha yang mendukung tumbuhnya koperasi secara sehat dan mandiri.
Ketujuh, kemitraan berusaha. Dalam perkembangan perekonomian

masyarakat daerah di Provinsi Riau, sangat dirasakan adanya kepincangan struktural, antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah. Kesenjangan itu merupakan akibat dari tidak meratanya pemilikan sumber daya produksi dan produktivitas usaha, serta sistem distribusi dan pemasaran diantara pelaku ekonomi. Untuk memecahkan masalah ini menuntut perlu dilakukannya kemitraan berusaha, dan bukan ketergantungan dan persaingan yang tidak sehat. Kemitraan berusaha yang dimkasud adalah dalam rangka penciptaan hubungan kerja antara pelaku ekonomi yang didasarkan kepada ikatan yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja yang sejajar, dilandasi oleh prinsip saling menunjang, dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Pengalaman telah membuktikan bahwa dalam berusaha masing- masing pihak tetap saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu, atas dasar kelebihan dan kelemahan ini setiap usaha dituntut untuk selalu berkerjasma dan bermitra. Justru disinilah arti penting ekonomi kerakyatan. Usaha yang besar dan usaha kecil saling membutuhkan dan saling berkerjasama dalam rangka mencapai produktivitas dan efisiensi dalam persaingan yang sehat. Dalam sistem perekonomian yang kita anut sebenarnya tidak ada persaingan bebas yang tidak seimbang, yang ada hanyalah persaingan sehat berupa perlombaan untuk mencari yang terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak. Usaha yang satu harus dapat menunjang usaha yang lain, dan tentunya merupakan bahagian dari yang lain. Perusahaan yang besar menopang dan mendorong yang kecil agar tumbuh besar, dan yang kecil membantu yang besar dalam penyediaan berbagai kebutuhan bahan mentah dan lain sebagainya. Pada akhirnya menciptakan suatu totalitas sistem usaha bersama untuk kesejahteraan bersama. Pengalaman telah membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada perusahaan yang maju dan menjadi besar sendiri meninggalkan usaha-usaha lain yang kecil. Semua berhubungan, terkait dan interdependensi. Model kemitraan berusaha yang dimaksud dapat berupa hubungan yang saling menguntungkan (komensalisma), misalnya

petani perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau menyediakan bahan mentah, sedangkan pabrik selain menyediakan kebutuhan petani sekaligus mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi atau menghasilkan minyak goreng untuk dipasarkan pada pasar lokal, regional dan internasional. Bentuk hubungan kerjasama ini dapat saja diterapkan pada hubungan antara petani dengan KUD yang memiliki pabrik pengolahan barang-barang produksi. Dengan demikian, kemitraaan usaha ini diharapkan pula dapat memberantas atau mengurangi kegiatan monopoli dan oligopoli dari sekelompok orang yang perekonomiannya yang sudah sangat kuat dalam masyarakat. Selanjutnya dalam kemitraan usaha, selain saling menguntungkan, juga harus adil dan dinamis. Adil, dalam arti kemitraannya tidak memberatkan kepada salah satu pihak. Dinamis, dalam arti tidak terpaku pada suatu keadaan, tetapi senantiasa disesuaikan dengan tuntutan keadaan situasi dan kondisi setempat, sehingga efektivitas, produktivitas, dan kualitas usaha kemitraan senantiasa tetap terjaga. Sampai saat ini, berdasarkan pengamatan langsung di lapangan ternyata konsep kemitraan berusaha di Provinsi Riau belum terlaksana dengan baik, karena itu diperlukan peranan Pemerintah Daerah dalam upaya mempercepat proses sosialisasi kemitraan berusaha. Peranan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam hal ini adalah membuat kebijakan, menfasilitasi pertemuan dan dialog antara perusahaan-perusahaan besar Pemerintah (BUMN) dan swasta dengan petani sebagai pemilik lahan, tentang kemitraan berusaha.
Kedelapan, kebijakan anti monopoli, oligopoli dan kartel.Dalam

mengembangkan ekonomi kerakyatan, tidak dibenarkan adanya praktek- praktek monopoli, oligopoli dan kartel. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi dan keadilan. Kegiatan monopoli sudah barang tentu tidak efisien, karena pelakunya secara sengaja membatasi keluaran dan membebankan harga yang lebih tinggi dibandingkan jika keluaran atau produksi itu dihasilkan dalam kondisi persaingan yang murni dan sempurna. Oleh sebab itu dapat ditegaskan disini bahwa monopoli atau sejenisnya seperti perusahaan- perusahaan BUMN adalah tidak efisien jika dibandingkan dengan perusahaan- perusahaan swasta yang murni bersaing, karena BUMN menghasilkan terlalu sedikit dengan beban biaya yang tinggi. Berkurangnya persaingan atau kompetisi yang didukung oleh adanya subsidi Pemerintah, telah menyebabkan perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dituduh sebagai perusahaan yang dijalankan dengan manajemen yang kurang baik, tidak efisien dan dicemari oleh akses-akses birokrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela. Oleh karena itu usaha apaun, besar atau kecil termasuk perusahaan-perusahaan negara atau perusahaan Daerah yang kegiatannya berbau monopoli, harus diswastakan (privatisasi) murni dan dipaksa untuk dapat bersaing di pasaran yang bebas. Demikian pula halnya dengan kegiatan kartel, tidak dibenarkan ada dan berkembang dalam sistem perekonomian kerakyatan. Kegiatan kartel hanya menciptakan kelompok- kelompok usaha yang kecenderungannya dikuasai oleh sekelompok masyarakat saja, sedangkan sebahagian besar masyarakat yang lainnya tidak mendapatkan akses dan kesempatan untuk berusaha. Untuk mencegah dan memberantas praktek-praktek monopoli, oligopoli dan kartel ini, Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus lebih serius melaksanakan undang-undang tentang pelarangan kegiatan monopoli, oligopoli dan kartel dalam setiap dunia usaha.

Perubahan masyarakat perdesaan tidak dapat hanya dilihat dari sisi ” Human Centered Develoment“ sebagimana telah disinggung pada uraian sebelumnya. Karena harapan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia adalah supaya pembangunan terarah juga pada “Production centered
development ”.

Adam Smith, sebagi tokoh sentral Aliran Ekonomi klasik telah mengemukakan ajaran “individualisme ” dan“ Laissez Faire ” adalah semboyan yang lahir dari semangatindividualisme. Menurut Smith ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 30 ) bahwa sisteminduvidualisme ekonomi menyerahkan aturan dan penguasaan ekonomi kepada masyarakat, sedangkan pemerintah tidak perlu campur tangan. Tiap-tiap produser dan konsumen merdeka bertindak, pembentukan karya didasari kepada hukum permintaan dan permintaan pasar, menjadi dasar pengambilan keputusan. Harga yang terbentuk atas dasar mekanisme pasar tersebut, dengan sendirinya akan mengpengaruhi produksi, alokasi, pendapatan dan konsumen. Dan semua itu akan lancar jalannya apabila orang seseorang merdeka bertindak dan berbuat. Mekanisme pembentukan harga akan membawa segala hubungan ekonomi secara otomatis kejurusan persesuaian kepada keadaan seimbang. Dengan“invisibel hand” mekanisme harga tersebut “natural orde” dannaturan price, akan berlaku.

Pendekatan teori klasik ini akan baik hasilnya, jika persyaratan- persyaratan yang memungkinkan setiap individu memiliki kemampuan yang sama untuk berperan dalam iklimindividualisme. Pendekatan pembangunan ekonomi ini tidak akan baik, kalau iklim usaha tidak kondusif. Misalnya masih ada monopoli, oligopali, kartel, dan harus ada perangkat aturan yang jelas. Mereka yang sudah memiliki kesempatan yang besar untuk menguasai sumber- sumber ekonomi. Akibatnya terjadi kepincangan sosial, dimana yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah melarat, inilah mungkin yang terjadi di perdesaan dengan kebijakan perkebunan dalam skala luas.

Menurut Smith dan Mill ( dalam Tjokroamidjojo, 1996 : 32 ) bahwa penduduk secara pasti merupakan tenaga produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi perlu pula memperhitungkan faktor non-ekonomi : kepercayaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan berpikir, adat istiadat, dan corak kelembagaan dalam masyarakat. Ini memperkuat argumen bahwa pembangunan ekonomi perlu
memeperhatikan kontekstual desa.

Kemudian Keynes ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 34 ) mengatakan bahwa rendahnya suatu pertumbuhan ekonomi sebagai akibat kurangnya penanaman modal dari pengusaha-pengusaha, maka pemerintah harus bertindak berupa kebijakan fiskal dan moneter. Untuk melengkapi pendapat ini, Domar menambahkan bahwa pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang, sekaligus juga sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat. Penanaman modal yang dilakukan masyarakat dalam sewaktu waktu tertentu digunakan dua tujuan : mengganti alat-alat modal yang tidak dapat dipergunakan dan untuk memperbanyak jumlah alat-alat modal dalam masyarakat. Yang menghanghasilkan dua macam nilai, yaitu rasio produksi modal dan rasio modal produksi (capital output ratio ).

Teori ini menuntun kebijakan ekonomi masyarakat, bahwa perlunya investasi dan modal kerja. Untuk itu perlu didukung oleh pemerintah, terutama mencari investor dalam dan luar negeri, serta pengadaan kredit usaha yang disediakan pihak bank. Selain itu diperlukan pula lembaga ekonomi yang lain, misalnya koperasi masyarakat perdesaan untuk usaha simpan pinjam, memberi semangat budaya menabung, dan termasuk persediaan saprodi untuk keperluan petani, serta destribusi pemasaran hasil-hasil pertanian. Tampa itu semua pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan pendapatan masyarakat sulit dicapai.

Aliran Neo klasik yang dipelajari Cobb dan Douglas ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 36 ) bahwa pertumbuhan ekonomi masyarakat ditentukan oleh pertumbuhan dalam penawaran faktor-faktor produksi. ( alat-alat modal di tenaga kerja ) dan teknologi. Fungsi produksi yang telah berkembang, yang terkenal dengan istilah “Cobb-DouglasProduction Function, sebagai berikut :

Yt = Tingkat Produksi Pada Tahun t;
Tt = Tingkat Teknologi Pada tahun t;
Kt = Jumlak Stok Alat-Alat Modal Pada Tahun t;
Lt = Jumlah Tenaga Kerja Pada Tahun t
x = Pertambahan Produksi Akibat pertumbuhan Satu Unit Modal
B = Pertumbuhan Produksi Akibat pertambahan Satu Unit Tenaga Kerja

Nilai x dan B biasanya ditentukan dengan anggapan bahwa x + B = 1, berakti nilai x dan B adalah sama dengan nilai produktivitas batas dari masing- masing faktor tersebut, dengan melihat peranan tenaga kerja dan modal dalam pencapaian pendapatan masyarakat.

Dalam menganalisa tahapan pembangunan sosial ekonomi perdesaan, dapat mengacu pada konsep proses pembangunan yang dikemukan Rostow ( dalam Budiman, 1995 : 25 – 31 ) bahwa pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terkebelakang ke masyarakat yang maju, yaitu :

1. Masyarakat tradisional : tingkat ilmu pengatahuan masyarakat rendah, masyarakatnya masih dikuasai kepercayaan kekuatan magis, tunduk kepada alam, produksi terbatas, ekonomi subsistensi, tidak ada investasi, dan masyarakatnya statis.

2. Prakondisi untuk lepas landas : masyarakat tradisional meskipun sangat lemah, terus bergerak mencapai suatu titik prakondisi untuk lepas landas. Perubahan ini karena ada campur tangan dari luar, mulai dari ide pembaharuan. Usaha untuk meningkatkan tabungan terjadi digunakan untuk investasi sektor-sektor produktif dan menguntungkan, termasuk pendidikan.

3. Lepas landas : dimulai dari tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi yang aktif meningkat 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional industri-industri baru mulai berkembang dengan pesat. Pertanian menjadi usaha komersial, bukan sekedar untuk konsumsi.

4. Bergerak ke kedewasaan : terjadi proses kemajuan yang terus bergerak kedepan, tabungan dan investasi mencapai antara 10% sampai 20% dari pendapatan nasional dan diinvestasikan kemabali. Industri berkembanmg sangat pesat, sebahagian barang diimpor sekarang sudah di produksi dan ekspor barang-barang baru mengimbangi impor. Setelah 40 – 60 tahun setelah periode lepas
landas terakhir, tingkat kedewasan biasanya tercapai.

5. Jaman konsumsi masal yang tinggi : karena pendapatan masyarakat naik , konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri berubah kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan utama, surplus ekonomi akibat proses politik dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pembangunan sudah berkesinambungan untuk kemajuan terus menerus.

Teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini, seperti teori modernisasi lainnya, didasarkan pada dekotomi masyarakat-masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Titik tengah dalam gerakan kemajuan dari masyarakat yang satu ke yang lainnya adalah periode lepas landas
(

masyarakat transisi ). Kalau mengaku ke perdesaan, tingkat perkembanganya yaitu desa tradisional, desa tradisional dan desa modern, dalam perkembangan tingkat sosial ekonomi masyarakat Rostow juga mengemukakan penting adanya kelompok wiraswastawan, elite baru dalam masyarakat, misalnya : kaum pedagang, meningkatnya investasi, tumbuh industri pengelolaan (manufaktur) dan adanya secara cepat lembaga-lembaga politik dan sosial yang dapat menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif.

Pada umunya perdesaan di Indonesia karena sebagai negara agraris, sektor pertanian yang menjadi andalan. Menurut Weitz ( dalam Todaro, 1995 : 367 ) terdapat tiga langkah atau tahapan besar di dalam perjalanan evolusi produksi pertanian : pertama, pertanian subsisten yang produktivitasnya rendah; kedua tahapan pertanian diversifikasi atau capuran; ketiga, tahapan pertanian modern, produktivitas yang tinggi untuk mengisi pasar-pasar komersial.

Modernisasi di bidang pertanian di dalam ekonomi pasar campuran seperti yang tampak di perdesaan akan mengalami peralihan secara bertahap, dari subsisten ( untuk memenuhi kebutuhan sendiri ) menuju spesialisasi produksi ( komersial ). Akan tetapi transisi tersebut lebih banyak memerlukan adanya reorganisasi struktural ekonomi pertanian atau aplikasi teknologi
pertanian.

Kebanyakan masyarakat perdesaan pada saat ini, pertanian bukan saja aktivitas ekonomi, tatapi sudah menjadi cara hidup. Setiap pemerintah yang berusaha untuk mengubah pertanian tradisionalnya ini harus mengatahui bahwa selain penerapan struktural pertanian yang baru, perubahan-perubahan yang berpengaruh kepada seluruh struktur kehidupan sosial ekonomi, pendidikan dan kelembagaan pada masyarakat, kesemuanya itu sangat diperlukan. Tampa adanya perubahan seperti itu, pembangunan masyarakat perdesaan tidak akan beranjak atau barangkali hanya akan memperlebar kesenjangan antara sekelompok kecil orang yang kaya dan makmur dan mayoritas petani miskin.

Di dalam pertanian subsisten tradisional, keluaran dan konsumsi identik dengan dua tiga hasil pertanian pokok ( biasanya sagu, beras dan jagung ) merupakan sumber pangan utama. Keluaran dan produktivitasnya rendah dan peralatan pertanian yang digunakan amat sederhana, lingkungan statis, musim tanam sangat tergantung pada cuaca, dan tenaga kerja merupakan faktor produksi pokok. Gagal panen dan kurang keterampilan dalam mengelola lahan merupakan bencana bagi kelansungan hidup petani. Para petani memperkerjakan anggota keluarganya. Terbatasnya teknologi, kakunya lembaga-lembaga sosial dan terbagi-baginya pasar merintangi meningkatnya produksi. Sebagian besar masyarakat pertanian perdesaan masih tetap berarti pada tahap subsistensi. Namun kebanyakan pertanian tradisional dapat berprilaku secara ekonomi rasional, jika dihadapkan kepada alternatif kesempatan.

Menurut teori yang baku, pendapatan rasional atau laba (profit) maksimum pertanian atau perusahaan akan selalu memilih metode produksi yang akan meningkat keluaran pada biaya tertentu atau menurut biaya pada tingkat keluaran tertentu ( prinsip ekonomi ). Oleh karena itu, jika rasio dan ketidak pastiannya pasar, seorang petani miskin akan segan ( pikir-pikir dulu ) untuk beralih dari teknologi tradisional dan bertani yang telah bertahun-tahun mereka tekuni ke teknologi baru, yang walupun menjanjikan hasil panen lebih tinggi, namun mengandung resiko kegagalan yang besar juga. Menurut Todaro ( 1995 : 370 ) mengatakan bahwa ada beberapa faktor mengapa petani kecil kurang responsif terhadap peluang ekonomi yang jelas, diantaranya karena : pemerintah memberikan jaminan harga yang tidak pernah dibayar, memasukan pelengkap ( pupuk, obat-obatan, anti hama, pengairan, kredit-kredit yang tidak bisa dimanfaatkan dan sebagainya ), semuanya itu di tidak tertenggulangi petani kecil.

Dengan demikian usaha-usaha untuk memperkecil resiko dan melenyapkan hambatan-hambatan komersial dan kelembagaan terhadap inovasi baru termasuk teknologi, merupakan persyaratan pokok (esensial) bagi pembangunan pertanian di perdesaan.

Selanjutnya diversifikasi tanaman atau pertanian campuran merupakan langkah pertama yang dapat dianggap masuk akal untuk beralih dari subsisten ke spesialisasi produksi. Dalam tahap ini panen pokok tidak lagi di dominasi keluaran pertanian, karena hasil bumi baru untuk perdagangan seperti buah- buahan, sayuran, kopi, the, sawit, kelapa, nenas, pisang, jeruk, mangga, rambutan dan sebagainya dapat dipungut bersama-sama dengan hasil kolam dan ternak peliharaan.

Aktivitas baru ini dapat dilakukan lebih santai, dimana banyak tenaga kerja petani diluar masa panen dalam keadan setengah menganggur, memanfaatkan sisa lahan. Akhirnya dengan menggunakan traktor kecil, mesin penyebar benih, bajak-bajak yang dijalankan hewan, penggunaan bibit unggul, pupuk, irigasi, racun hama, dan irigasi akan meningkatkan hasil panen pokok seperti, beras, dan jagung serta dapat menghemat tanah untuk digunakan menahan tanaman perdagangan, tampa menggangu sediaan panen pokok. Para penggarap lahan yang demikian dapat memiliki surplus panen yang dapat dijual ke pasar yang hasilnya dapat meningkatkan standar hidup keluarganya atau digunakan untuk investasi, divertifikasi tanaman dapat juga memperkecil pengaruh gagalnya panen, disamping memberikan jaminan tambahan pendapatan. Sukses atau gagaglnya petani di perdesaan, akan tergantung tidak hanya pada kemampuan petani dan keterampilannya dalam meningkatkan produktivitasnya, tertapi bahkan yang lebih penting tertumpu pada kondisi- kondisi sosial, komersial dan kelembagaan yang melingkupi petani. Khususnya jika petani telah yakin gampang memperoleh kredit ,pupuk, air, penjelasan- penjelasan dari penyuluh, fasilitas pemasaran, dan sebagainya, dan jika petani tidak ragu-ragu lagi akan dapat memperoleh keuntungan dari setiap perbaikan, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa petani tidak tanggap terhadap rangsangan ekonomi dan peluang-peluang baru untuk memperbaiki taraf kehidupan kehidupan masyarakat di perdesaan.

Kemudian dari pada itu, spesialisasi tanaman merupakan tahap akhir dan paling maju dari lahan pertanian yang dikelola secara individu dari dalam perekonomian pasar campuran. Pada tipe pertanian yang mengenal spesialisasi tanaman atau usaha, penyediaan pangan bagi keluarga dari surplus atau kelebihan penjualan pasar tidak lagi merupakan sasaran motivasi pokok. Keuntungan yang benar-benar komersial menjadi ukuran atau kriteria sukses usaha manusia atas lahan pertanian per meter kubik ( Irigasi, pupuk, anti hama, bibit unggul dan sebagainya, sementara itu tujuan aktivitas usaha. Produksi dimaksudkan semata-mata untuk pasar dan konsep-konsep ekonomi, seperti biaya tetap, biaya variabel, tabungan, investasi dan tingkat laba atau keuntungan, kombinasi-kombinasi faktor optimal, harga-harga pasar dan penunjang harga dan sebagainya, mempunyai peranan kuantatif dan kualitatif. Pembentukan modal, kemajuan teknologi, penelitian ilmiah, memainkan peran besar di dalam meningkatkan keluaran dan produktivitas yang lebih tinggi. Spesialisasi tanaman mungkin berbeda ukuran, bentuk dan fungsinya. Cakupannya meliputi pembudidayaan buah-buahan, sayur-sayuran, perkebunan, peternakan dan perikanan yang sangat luas padat modal. Dalam banyak hal peralatan mekanis yang hemat tenaga, dari mulai traktor-traktor yang besar sampai dengan pesawat penyemperot hama memungkinkan seorang petani mengelola ribuan meterkubik lahan tanah sekaligus. Gambaran umum mengenai spesialisasi pertanian, menitik beratkan pada pembudidayaan satu jenis tanaman tertentu, pemakaian teknik-teknik yang padat modal dan hemat tenaga kerja terkait pada skala ekonomi, yaitu memperkecil biaya perunit tetapi dengan keuntungan maksimal. Kenyatanya beberapa pengoprasian spesialisasi tanaman
dimiliki dan dikelola oleh perusahan-perusahaan agrobisnis.

Dengan berpengalaman kepada negara-negara maju yang tingkat kemakmuranya tinggi, pilihan kepada spesialisasi produksi yang disesuaikan dengan sumber alam dan permintaan pasar merupakan alternatif yang tepat untuk diterapkan pada pembangunan sosial ekonomi perdesaan. Hanya saja berdasarkan pengalaman spesialisasi.

Produksi, seperti perkebunan inti rakyat, faktor modal, teknologi dan keterlibatan (keikutsertaan) petani yang berada disekitarnya atau sebagai pemilik lahan merupakan faktor yang perlu diperhitungkan, dalam rangka pencapaian pembangunan perdesaan yang beroreintasi pada kepentingan manusia yang sebenarnya. Yang sering menimbulkan konflik adalah para pemilik agrobisni swasta selalu menggarap lahan-lahan petani dalam skala yang luas, tanpa mengikutsertakan petani, bahkan merampas lahan-lahannya. Jadi aspek pengaturan dan pembagian mengurangi resiko spesialisasi produksi dalam skala yang luas.

Dengan mengacu pada beberapa teori pertumbuhan ekonomi dari berbagai aliran, maka setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang harus ada selalu tersedia dan berfungsi pada masyarakat perdesaan, diantaranya :
1. Tenaga kerja yang terampil dan sehat, pembentukan melalui
peningkatan sumber daya manusia.
2. Petani yang memiliki tanah (lahan) melalui kebijakan landreform.

3. Dana untuk investasi dan modal kerja, melalui penyediaan kredit jangka panjang dan kecil tingkat suku bunga yang disediakan bank pemerintah atau koperasi desa.
4. Seperangkat aturan yang mencagah terjadinya monopoli /persaingan
yang tidak sehat dan iklim sosial politik yang kondusif.
5. Jaminan distribusi dan pemasaran hasil-hasil usaha di perdesaan.
6. Teknologi tepat guna ( yang disesuaikan dengan kebutuhan
karateristik sosial ekonomi desa )
7. Pembagian kerja (usaha) secara lokal, ragional dan nasional, melalui perkembangan spesialisasi produksi yang sesuai dengan sumber- sumber setempat.
8. Dukungan kebijakan dan kemampuan politik dari pemerintah.
9. Berfungsinya lembaga-lembaga dalam masyarakat.

Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

I. Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia

Berdasarkan tingkat perkembangan pembangunan daerah di Riau, apabila dirincikan berdasarkan bidang pembangunan, memperlihatkan bahwa perencanaan dan implementasi program pembangunan daerah pada bidang kualitas sumber daya manusia belum optimal. Sesungguhnya program peningkatan S.D.M di daerah tidak saja ditujukan kepada kedisiplinan dan penguasaan atau pemahaman materi pekerjaan dan pelayanan yang diberikan aparatur, melainkan bertujuan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam berusaha meningkatkan pendapatan perkapitanya.

Perbaikan faktor manusia (human factor) memberikan kontribusi yang besar bagi percepatan laju pembangunan. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dipandang sebagai bagian pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial.

Kemajuan ekonomi suatu masyarakat supaya dapat berkesinambungan, harus didukung oleh sumber daya manusia yang memiliki prakarsa dan daya kreasi untuk kemajuan diri termasuk menggunakan hak-hak politiknya. Prakarsa itu hanya akan tumbuh apabila ada kesempatan yang sama dan berkeadilan kepada setiap masyarakat dalam proses pembangunan.

Atas dasar pandangan perlu adanya daya prakarsa dan kreasi masyarakat dalam pembangunan, maka kebijakan pembangunan harus tercipta sedemikian rupa sehingga ada kebebasan dan kesempatan untuk berperan serta (berpartisipasi) dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri setiap individu dan masyarakat.
Peran serta masyarakat tidak hanya terbatas pada bidang tertentu saja, melainkan termasuk kepada semua bidang pembangunan : ekonomi, politik, sosial budaya dan hankam. Singkatnya, kemajuan ekonomi suatu masyarakat tidak akan mampu bertahan, tanpa adanya pembangunan demokrasi politik dalam masyarakat tersebut.

Pembangunan sosial (social building) dalam rangka pengembangan sumber daya manusia tidak terlepas dari bagaimana menciptakan sistem sosial yang dapat mendorong lahirnya manusia kreatif atau manusia berprestasi, termasuk pula sikap mental masyarakat dan aparatur Pemerintah.

Selama ini pembangunan hanya difokuskan pada pembangunan fisik dan mengabaikan faktor-faktor non fisik yang justru memiliki potensi yang cukup besar untuk keberhasilan pembangunan. Smith dan Mill (Todaro, 1995:391) menyatakan dalam pembangunan ekonomi perlu pula memperhitungkan faktor non ekonomi yaitu kepercayaan masyarakat, kebiasaan berpikir, adat istiadat, budaya usaha dan corak kelembagaan masyarakat.

Pada periode pembangunan selama pemerintahan orde lama berkuasa yang mengutamakan pembangunan politik sampai kepada lapisan terbawah di perdesaan, pada kenyataannya telah gagal menciptakan kemakmuran dan keadilan bagi rakyatnya. Demikian pula dengan pengalaman selama pemerintahan orde baru berkuasa, juga dianggap telah gagal karena terlalu memfokuskan pada pembangunan ekonomi masyarakat semata dalam rangka mengejar pertumbuhan. Oleh karena itu sungguh sangat tepat di era reformasi yang juga dalam waktu yang bersamaan sedang mengalami krisis ekonomi, Pemerintah Daerah Provinsi Riau melakukan perubahan strategi pembangunan daerah dari strategi mengabaikan aspek pembangunan demokrasi politik menuju kepada strategi pembangunan demokrasi ekonomi bergandengan dengan pembangunan demokrasi politik.

Pembangunan demokrasi politik terutama dalam hal prakarsa, daya kreasi dan hak-hak politik masyarakat Daerah belum dapat terekspresikan dengan baik. Demikian pula dalam hal partisipasi individu dan masyarakat daerah dalam proses pengambilan keputusan Keberadaan Pemerintah dengan visi dan misinya tersediri telah membuat masyarakat daerah tidak ada pilihan kecuali hanya mengikut. Salah satu faktor yang perlu dipertimbangkan dalam rangka mencari penyesuaian antara keinginan arus bawah dengan keinginan pihak atas, tidak lain adalah dengan mengembangkan demokrasi politik. Upaya tersebut dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat dan sekaligus mengurangi campur tangan yang berlebihan dari Pemerintah Daerah dalam proses pembangunan. Disinilah arti pentingnya pembangunan demokrasi politik di daerah dalam rangka pemberdayaan masyarakat madani dimasa yang akan datang.

Pembangunan masyarakat daerah sebenarnya meliputi dua unsur pokok yaitu : masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif, yang menjadi manusia pembangunan. Dan masalah meteri yang mau dihasilkan dan dibagi-bagikan.

Para ahli ekonomi hanya menekankan pada aspek keterampilan, dan manusia lebih dianggap sebagai faktor produksi saja. Yang kurang dipersoakan adalah bagaimana menciptakan sistem sosial, yang bisa mendorong lahirnya manusia kreatif. Dengan demikian, pembangunan tidak saja berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material selain itu, pembangunan juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang memuat manusia yang bisa tumbuh dan mengembangkan kreatifitas. Jadi pembangunan harus dimulai dari pembangunan manusianya.

Pengembangan sumber daya manusia, tidak terlepas dari pada untuk membuat sebuah pekerjaan menjadi berhasil. Yang paling penting adalah sikap terhadap pekerjaan tersebut. Perseoalannya apakah seseorang memiliki semangat baru yang sempurna dalam menghadapi pekerjaan. Dan apakah dia memiliki keinginan untuk berhasil. Sejalan yang dikemukakan. Mc Clelland ( dalam Budiman, 1995 : 23 ) dengan konsepnyaThe need for Achievement (n-
Ach)yaitu kebutuhan atau dorongan untuk berprestasi. Orang dengan n-Ach

yang tinggi, yang memiliki kebutuhan untuk berprestasi, mengalami kepuasan bukan karena mendapat imbalan dari hasil kerjanya, tetapi karena hasil kerjanya dianggap sangat baik. Mengacu pada konsep tadi, maka kemampuan sumber daya manusia di perdesaan yang di tingkatkan terlebih dahulu, karena kalau dalam masyarakat ada banyak orang yang memiliki n-Ach yang tinggi, dapat diharapkan masyarakat tersebut akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Jadi sebenarnya kemajuan suatu masyarakat itu sendiri maju atau berkeinginan untuk terus berprestasi.

Memajukan masyarakat dapat dimulai dari pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, diskusi-diskusi, bahan-bahan bacaan, kursus-kursus keterampilan, pemanfaatan media informasi yang kesemuanya dapat memberi semangat dan motivasi berprestasi tinggi.

Menurut Inkeles dan Smith ( dalam Kamil P,1999 : 89 ) bahwa pembangunan negara berkembang memerlukan manusia-manusia modern yang siap menerima perubahan.

Menjadi manusia modern yang perlu dirubah adalah watak masyarakat. Tentang proses perubahan manusia modern, Inkelas dan Smith ( dalam Budiman, 1995 : 35 ) mengatakan bagaimanpun juga, manusia bisa dirubah secara mendasar setelah dia menjadi dewasa, dan karena itu tak ada manusia yang tetap menjadi manusia tradisional dalam pandangan dan keperibadiannya, hanya karena dia dibesarkan dalam sebuah masyarakat tradisional.

Inkelas dan Smith memberikan pemahaman bahwa dengan memberikan lingkungan yang tepat, setiap orang bisa diubah menjadi manusia modern, setelah dia mencapai usia dewasa.

Bagaimana menjadikan masyarakat perdesaan menjadi orang modern. Menurut Inkelas dan Smith ( dalam Suarsono dan Alvin,1991 : 33 ) ada beberapa faktor antara lain : pendidikan, penduduk desa mencari pengalaman ke kota, tersedianya media informasi ( televisi, radio, surat kabar, majalah, jurnal iptek ), memberikan pendidikan politik, modernisasi pabrik dan administrasi industri, dan pengembangan ilmu dan teknologi.

Selanjutnya kondisi-kondisi apa yang membuat suatu masyarakat dapat membimbing proses mengatur kehidupan dan membentuk kembali. Menurut Etzioni (dalam Garna, 1992: 77) mengatakan bahwa pengatahuan, pengambilan keputusan, kekuasaan, kesesuaian paham dan mobilisasi sebagai variabel- variabel penyambung pada transformasi dari masyarakat yang terasing kepada tahap masyarakat aktif.

Etzioni yakin bahwa pengatahuan ilmiah, termasuk ilmu-ilmu pengatahuan sosial, akan dipakai dalam transformasi sosial, khususnya dalam memahami dan mewujutkan masyarakat yang self-guinding. Masyarakat lebih menjadi demokratis, penggunaan jasa paksaan dikurangi dan kontrol sosial pun lebih efektif.

Banyak ahli ekonomi berangkali sependapat bahwa bukanlah sumber daya modal atau materi yang sepenuhnya menentukan karakterisasi dan tingkat perkembangan ekonomi dan sosial, melainkan sumber daya manusia. Sebagimana dikatakan Herbison (dalam Todaro 1995 : 385) bahwa sumber daya manusia merupakan landasan utama bagi kesejahteraan negara. Sumber daya alam dan modal merupakan faktor-faktor produksi aktif yang dapat mengakumulasi modal, mengelola sumber daya alam, membangun organisasi- organisasi sosial, ekonomi dan politik serta melaksanakan pembangunan nasional lebih lanjut.

Dengan demikian investasi sumber daya manusia akan menghasilkan manfaat ganda. Sedangkan mekanisme kelembagaan yang paling penting bagi pengembangan keterampilan masyarakatlah sistem pendidikan nonformal. Peningkatan kesempatan pendidikan kuantitatif dan kualitatif yang cepat akan merupakan kunci pokok pembangunan masyarakat perdesaan.

Permasalahan yang sangat mendasar tentang pendidikan di perdesaan adalah kurang sesuainya sistem pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Ini disebabkan, sistem pendidikan hafalan, pengulangan dan pengalaman, bukannya pemikiran, penalaran atau pemecahan masalah. Jadi sekolah-sekolah dasar amat terbatas waktunya untuk memberikan bekal pengatahuan kecakapan dan gagasan-gagasan baru yang sangat dibutuhkan murid agar bisa berfungsi secara efisien di dalam lingkungan perdesaan, misalnya praktek pertanian dan pengelolaannya, kesehatan, nutrisi, pembangunan komunikasi dan sebagainya. Yang menjadi prioritas hanya membaca, menulis, berhitung dan bahasa asing, sesungguhnya kebanyakan mereka bukan dipersiapkan untuk melanjutkan keperguruan tinggi. Misalnya, anak-anak yang berasal dari keluarga miskin dengan tarap kehidupan keluarga yang rendah, sering gagal dalam menyelesaikan pendidikan.

Menurut Simmon ( dalam Yodaro; 1995 : 397 ) menyebutkan ada empat faktor paling penting yang merupakan determinasi terhadap kemampuan belajar anak-anak, yaitu :

1. Lingkungan keluarga, termasuk tingkat penghasilan, pendidikan orang tua, kondisi perumahan, jumlah anak dalam suatu keluarga, dan sebagainya.
2. Interaksi kelompok sebaya, yaitu tipe anak-anak dengan siapa
seseorang anak berhubungan.
3. Keperibadian, yaitu inteligensia dan kecapan yang diturunkan kepada
anak.
4. Nutrisi dan kesehatan selama bertahun-tahun awal.

Setidaknya ada beberapa manfaat dari investasi sumber daya manusia di perdesaan, antara lain : mendorong pertumbuhan ekonomi, terciptanya angkatan kerja terdidik, memacu sikap-sikap modern masyarakat, dan mengurangi tingkat kesuburan wanita.

Menurut Todaro ( 1995 : 423 ) banyak pendidikan di masyarakat desa di negara-negara berkembang hanya sedikit sumbangannya di dalam memperbaiki tingkat produktivitas pertanian alam atau di dalam membuat murid bisa belajar lebih efektif di lingkunagan masyarakatnya.

Selanjutnya Coombs ( dalam Todaro, 1995 : 423 ) mengelompokkan pada empat kelompok pendidikan yang diperlukan penduduk usia muda dan dewasa, laki-laki dan perumpuan, dalam empat bagian sebagai berikut:
1. Pendidikan umum atau pendidikan dasar, membaca, menulis,
berhitung, lingkungan hidup dan sebagainya.

2. Pendidikan kesejahteran keluarga, untuk mendalami pengatahuan, keterampilan, dan sikap-sikap yang berguna untuk memperbaiki kualitas kehidupan keluarga termasuk kesehatan, nutrisi, rumah sakit, perawatan anak, membangunan rumah dan memperbaikinya, keluarga
berancana, dan sebagainya.

3. Pendidikan kesejahteraan masyarakat, dirancang untuk memperkuat lembaga-lembaga kemasyarakatan, baik lokal maupun nasional, LMD, LKMD, koprasi, proyek kemasyarakatan dan upaya serupa.

4. Pendidikan keterampilan kerja, dirancang untuk mengembangkan pengatahuan dan kecapan khususnya yang berkaitan dengan efektivitas ekonomi dan yang bermanfaat bagi usaha membina kehidupan.

Untuk mencapai tingkat keberhasilan peningkata SDM, berikut ini akan ditunjukkan betapa kebutuhan terhadap pendidikan berbeda antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain di lingkungan perdesaan. Program- program pendidikan yang efektif dan diatur dengan baik secara cocok untuk semua kelompok pekerja adalah sangat diperlukan jika pendidikan dimaksudkan sebagai sarana penunjang yang penting bagi pembangunan perdesaan. Untuk lebih jelasnya tertuang pada tabel berikut ini.

Kemudian Coombs dan Ahmed ( 1985 : 37 – 39 ) mengemukankan dari empat pendekatan untuk meningkatkan sumber daya manusia perdesaan, diantaranya:

1. Pendekatan penyuluhan, berusaha merubah pertanian subsistensi menjadi suatu masyarakat yang dinamik, dan meningkatkan suatu taraf hidup keluarga dan masyarakat.

2. Pendekatan pelatihan/pendidikan, pengajaran yang sistematis serta mendalam untuk meningkatkan keterampilan dan pengatahuan dasar tertentu.
3. Pendekatan swadaya terpadu, merubah watak, sikap penduduk
terhadap pembaharuan dan hasrat mereka akan perbaikan nasib.

4. Pendekatan pembangunan terpadu, sifatnya beraneka ragam dan tegas dalam memilih metode pendidikannya. Suatu pandangan yang luas mengenai proses pembangunan dan cara mengkoordinas dalam rangka satu sistem pengelolaan tunggal segala komponen
penting.

Dengan demikian jelaslah bahwa secara konvensional pembangunan sumber daya manusia diartikan sebagai investasi ‘’human capital” yang harus dilakukan sejalan dengan investasi physikal capital.

Cakupan pembangunan sumber daya ini meliputi pendidikan, pelatihan, kesehatan, gizi, penurunan fertilitas, dan pengembangan enterpreneurial, yang kesemuanya bermuara kepada peningkatan produktivitas manusia. Karenanya dikatatan kenerja pembangunan sumber daya manusia mencakup indikator pendidikan, pelatihan, kesehatan, gizi, dan sebagainya yang disebut di atas tadi.

Namun, pembangunan sumber daya manusia tidak hanya terbatas pada hanya untuk membuat manusia profesional dan terampil yang sesuai dengan kebutuhan sistem untuk dapat memberikan kontribusinya di dalam proses pembangunan interpretasi pengembangan sumber daya manusia lebih luas lagi, seperti yang dikemukakan Tjokrowinato ( 1996 : 29 ) bahwa pembangan sumber daya manusia menjangkau demensi yang lebih luas yang menekankan pentingnya kemanpuan manusia untuk ikut berpertipasi dalam proses transformasi masyarakatnya dimana mereka hidup bukan suatu struktur yang statis, tertutup, suatu realita yang harus diterima saja, tetapi menuntut mereka untuk beradaptasi sepenuhnya kepada sistem.

Pembangunan sumber daya manusia masyarakat perdesaan tidak sekitar pendidikan, kesehatan dan gizi, akan tetapi membentuk manusia yang mempunyai kemampuan kritis untuk melihat kendala-kendala sosial, ekonomi, politik, kultural dan sebagainya dari sistem sosial yang ada, dan mencari alternatif-alternatif pemecahan. Jadi menyangkut pula membentuk mental yang baik, sikap kritis dan pola pikir berlian, selalu ingin maju dan berperestasi, tumbuh jiwa wiraswasta, punya ide-ide cemerlang, pandangan kedepan menyongsong hari esok dan mampu sebagai agen pembangunan. Apabila sudah memiliki tingkat sumber daya yang demikian, diharapkan pula dapat mengembangkan ilmu pengatahuan dan teknologi, termasuk menggali dan mengembangkan teknologi pribumi ( eudugeulous technology ) yang dimilikinya.
Dengan memberikan peningkatan kepada kemampuan sosial ekonominya.

Menurut Hagen ( dalam Tjokrowinoto, 1996 : 49 ) bahwa diterimanya keberhasilan pembangunan suatu negara tergantung pada peran faktor makro individu, yaitu keperibadian. Ada empat unsur keperibadian sumber daya manusia, yaitu : intelegensia dan energi, orientasi nilai, kognisi dan kebutuhan (need), yang membedakan keperibadian antara bangsa-bangsa adalah pada unsur kebutuhan (need). Keberhasilan pembangunan menurut peribadi yang mempunyai kebutuhan manipulatif ( mengubah lingkungan ) yang tinggi, kebutuhan agresif ( bertindak agresif ), rendah, dan kebutuhan pasif ( bersikaf pasif ) yang rendah, kebutuhan manipulatif terdiri atas empat unsur, yaitu : need achievement ( kebutuhan untuk selalu berperstasi ), need outonomy ( kebutuhan mandiri ), need order ( kebutuhan untuk hidup dalam lingkungan yang serba teratur ), dan need understanding ( kebutuhan untuk selalu memahami peristiwa yang terjadi ), yang masing-masing juga harus tinggi.

Untuk merubah sumber daya manusia masyarakat perdesaan sehingga memiliki kualitas keperibadian yang dapat mendorong keberhasilan pembangunan pada bidang lain perlu upaya-upaya yang sungguh-sungguh. Dengan demikian akan terbentuk manusia-manusia sebagaimana yang dikatakan Dahlan ( 1992 : 9 -10 ) bahwa kualitas manusia Indonesia seutuhnya adalah memiliki kualitas fisik, yaitu : kesegaran jasmani, kesehatan, daya tahan fisik, dan sebagainya. Dan kualitas non fisik yaitu :
1. Kualitas keperibadian : Kecerdasan, kemendirian, kreativitas,

ketahanan mental, keseimbangan antara emosi dan rasio;
2. Kualitas masyarakat : keselarasan hubungan sesama manusia;
3. Kualitas berbangsa : tingkat kesadaran berbangsa dan bernegara;
4. Kualitas spiritual : religiousitas dan moralitas;
5. Wawasan lingkungan : kualitas yang diperlukan untuk mewujutkan
pembangunan yang berkelanjutan; dan 6. kualitas kekaryaan : kemampuan mewujutkan aspirasi dan potensi diri dalam bentuk kerja nyata guna menghasilkan sesuatu dengan mutu yang sebaik-baiknya.
Didalam konteks kearifan pembangunan yang mendasarkan dari pada ”
Human centered develoment“ justru kearifan, inovasi, dan daya kreasi manusia
yang mempunyai potensi untuk tumbuh secaraezponential, merupakan “
Inexhaustible determinant“ proses pembangunan itu sendiri. Karenanya ”
Human centered develoment“ merupakan “ Conditio – sine qao non“ dari
pembangunan yang berkelanjutan( subtained development ).

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons