Jumat, 07 Januari 2011

Menuju Visi Riau 2020 dengan Riau Incorporated dan Riauisasi

(Renungan Riau pada Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2010)
Oleh Muhammad Herwan
Adalah REFORMASI, kata yang didengungkan RAKYAT INDONESIA pada pertengahan tahun 1997 dan 1998. Satu kata yang menjadi tumpuan harapan sekaligus mimpi besar seluruh komponen rakyat negara ini sebagai titik sejarah baru untuk mulai melakukan perbaikan mendasar dan menyeluruh demi terwujudnya Indonesia menjadi bangsa dan negara yang besar. Bangsa dan negara yang mampu berdiri tegak dalam kancah perekonomian global. Bangsa dan negara yang memiliki harkat dan martabat dimata dunia internasional.
Banyak agenda yang hendak dikerjakan saat hiruk-pikuk reformasi dicanangkan. Banyak hal yang dituntut oleh rakyat agar apa yang diharapkan dan dimimpi pada reformasi menjadi kenyataan. Sepertinya keputus-asaan rakyat pada kondisi yang ada pada saat itu, digantungkan pada reformasi sebagai harapan terakhir dan jalan tercepat untuk adanya perubahan yang instan bagi kompleksitas permasalahan bangsa dan negara, terutama terhadap merajalelanya praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Praktik yang dianggap sebagai biang hancurnya dasar-dasar bernegara untuk menjalankan pembangunan dalam mengisi amanah kemerdekaan yang direbut dengan perjuangan sampai tetes darah terakhir para pejuang dan pendiri bangsa.
Tetapi, apa hendak dikata, harapan tinggal harapan, mimpi hanyalah bunga tidur yang hilang lenyap ketika kita (ter) sadar dari lelap tidur (tertidur) panjang. Setidaknya ini yang tergambar pada 20 Oktober 2010 lalu, ketika aksi demonstrasi yang dilakoni oleh mayoritas mahasiswa di seluruh wilayah Indonesia maupun analisis para pengamat dan pakar dalam melakukan evaluasi terhadap satu tahun pemerintahan SBY jilid dua. Harapan sekali lagi harapan, yang besar pada figure SBY untuk “INDONESIA BISA” (jargon yang sekarang diusung SBY) karena dianggap cukup berhasil (contoh keberhasilan politik pencitraan) pada 5 tahun memerintah (2004 – 2009), ternyata hanyalah citra kamuflase yang indah dipermukaan tetapi buruk isi.
Data dan fakta yang mengemuka pada aksi 20 Oktober 2010 merupakan rapor merah yang menunjukkan menurunnya persentase harapan rakyat pada pemerintahan SBY, yang kesimpulannya popularitas SBY di mata rakyat turun. Banyak data dan fakta yang diungkap oleh pengamat dan pakar pada hari itu, mulai dari bidang ekonomi yang tidak sinkron antara indikator makro ekonomi dengan mikro ekonomi, di bidang hukum yang kontradiksi antara komitmen pemberantasan korupsi dan buruknya peradilan dengan implementasi kebijakan bidang ini, di bidang politik yang semakin carut marut dan vulgar mempertontonkan praktik korupsi maupun penghamburan uang rakyat, maupun catatan-catatan di bidang lain seperti politik luar negeri yang cenderung tidak berdaya menghadang dan mengatasi politik ekonomi negara-negara lain sehingga kita “Kalah di Dalam, Keok di Luar” (judul tulisan M Fadjroel Rachman, Kompas 22 Oktober 2010), bahkan kasus-kasus dan sengketa perbatasan yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia beberapa waktu terakhir, akibat penanganan yang tidak tegas dan keras seolah Indonesia tidak ada marwah dan keberanian, karenanya negara lain dapat saja berbuat semena-mena terhadap kedaulatan Indonesia. Padahal Bung Karno sebagai salah seorang pendiri bangsa dan negara ini, telah menggariskan bagaimana Indonesia setelah meraih kemerdekaan yang dikenal dengan Trisakti, yakni berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Paradigma Baru Pembangunan Riau
Ketika, agenda rakyat secara nasional riuh menggugat satu tahun pemerintahan SBY, pada hari yang sama pada 20 Oktober 2010 tersebut, Riaupos Group menyelenggarakan kegiatan tinju pikiran (istilah yang selalu diucap oleh Prof Yusmar Yusuf), yang sudah sangat jarang dilaksanakan oleh berbagai komponen dan langka ditemukan di daerah ini, yakni “Round Table Discussion” yang mengetengahkan tajuk “Revitalisasi Visi Riau 2020” yang oleh panitia dinyatakan sebagai forum membincangkan separuh jalan Visi Riau 2020 sejak ditetapkan dengan suatu Peraturan Daerah tahun 2001, sembilan tahun yang lalu. Berpunca dari acara ini, banyak hal yang terlintas dalam alam pikiran penulis, ketika mencoba merenung melakukan kilas balik reformasi di Riau.
Patut diingat bahwa reformasi itulah yang menjadi pencetus lahirnya rumusan awal Visi Riau 2020, yang diberi tajuk Paradigma Baru Pembangunan Riau. Artinya, ketika kita membincangkan dan membahas Visi Riau 2020, apakah itu terkait dengan bagaimana melihat dan memperlakukan, atau upaya apa saja yang telah dilakukan, atau siapa yang bertanggung jawab, dan lain sebagainya untuk mewujudkannya, maka perlu dipahami ruh yang mendasari dan yang menjadi isi rumusan tersebut adalah keinginan (harapan) Rakyat Riau pada reformasi untuk menjadi negeri yang cemerlang dan terbilang. Di dalamnya tercantum konsepsi misi dan tujuan serta strategi yang harus dilakukan sebagai rangkuman dari setumpuk agenda reformasi Rakyat Riau yang di dapat dari berkaca diri Riau secara utuh terhadap potensi berikut inventarisasi permasalahan pada saat itu (1997 – 1998).
Masih segar dan nyata dalam ingatan penulis saat merumuskan konsep Paradigma Baru Pembangunan Riau. Dengan meneroka suasana dunia pada masa depan berikut perubahannya yang penuh dengan ketidakpastian. Kemudian mensejalankan dengan tuntutan arus reformasi yang berlangsung pada waktu itu (1997-1998) yakni; demokrastisasi, otonomi, transparansi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, kondisi yang secara tidak langsung akan mempengaruhi proses pembangunan dan bagaimana masa depan Riau. Penulis memberanikan merumuskan Visi Riau sebagai berikut : “Menjadi Provinsi yang Utama di Indonesia dalam Mewujudkan Masyarakat yang Ekonominya Tangguh dan Mandiri, dan Siap Menjadi Titik Pusat Pertumbuhan Ekonomi di Kawasan Asia Pasifik Menjelang tahun 2020”, dengan Misi sebagai berikut : “Memajukan Mutu Kehidupan melalui Peningkatan Kesejahteraan dan Kecerdasan Masyarakat yang Berkeadilan Sosial secara Berkelanjutan dengan Peranserta Nyata Masyarakat dalam Proses Pembangunan sehingga Provinsi Riau merupakan Titik Pusat Pertumbuhan Ekonomi di kawasan Asia Pasifik.”
Rumusan itu tercetus, ketika penulis sadar bahwa Riau dengan segala potensi yang ada (ketersediaan sumber daya alam yang ragam dan kemajemukan masyarakat-nya), memahami kelemahan serta bagaimana tantangan yang akan dihadapi di depan. Riau yang mampu dan sangat mendesak untuk melaksanakan pembangunan secara mandiri, nasib Riau sudah tak layak digantungkan begitu saja kepada siapapun. Lebih jauh, rumusan Visi Riau 2020 lahir sebagai cara Riau melakukan koreksi sekaligus bentuk protes terhadap konsep dan proses pembangunan Rezim Orde Baru yang tidak mampu mengubah wajah bangsa dan rakyat Indonesia maupun memperlakukan (menganaktirikan) daerah (Riau) yang telah memberikan kontribusi besar bagi pembangunan nasional.
Dengan menganalogikan gagasan merancang (sengaja me-rekayasa) masa depan Riau sebagai ide membuat suatu film, maka sebenarnya sudah tertulis dengan hampir sempurna skrip lengkap dengan alur cerita (skenario) berupa Buku Master Plan Riau 2020 (yang dibuat dengan biaya penyusunan yang menelan dana yang cukup besar untuk ukuran pada masa itu, disediakan oleh PT.CPI dan dikerjakan atas kolaborasi konsultan Amerika dengan PPIP-UNRI tahun 2002). Selanjutnya peran apa dan bagaimana yang menjadi lakon rakyat Riau sebagai pemain dalam film tersebut.
Agaknya di sinilah punca dari semua punca masalah, mengapa Perda tentang Visi Riau 2020 dan Buku Master Plan Riau 2020 (terdiri dari 4 jilid) itu hanya menjadi penghias lemari yang akhirnya berdebu (karena tak pernah dibaca dan dibersihkan) di perpustakaan DPRD Provinsi Riau dan Ruang Kantor Gubernur Riau. Hanya menjadi slogan pemanis rancangan kebijakan dan program pembangunan, ucapan lips-service dalam pidato dan sambutan acara. Ketika skrip dengan jelas menggambarkan skenario dan memberikan kriteria pemeran yang bertindak sebagai pemain untuk menjadikan film tersebut menjadi mahakarya yang mampu membawa rakyat Riau merdeka (sebagai pernyataan Rakyat Riau bahwa hakikat ril kemerdekaan itu adalah kedaulatan masyarakat dengan kesejahteraan dan kemakmuran). Ternyata Riau tidak mampu menetapkan siapa aktor utama, pemeran pembantu dan bagaimana figuran harus memposisikan (berbuat) dalam skuel cerita film tersebut.
Kita agaknya lupa, ketika gagasan Visi Riau 2020 dengan sebutan awal Paradigma Baru Pembangunan Riau dijadikan sebagai senjata utama memperjuangkan hak-hak Riau pada pemerintah pusat, ia-nya diusung oleh semua komponen rakyat Riau yang bersatu padu sehingga menjadi kekuatan besar yang dapat mengatasi semua rintangan yang menghadang di hadapan. Demikian juga, dengan semangat kebersamaanlah (persatuan dan kesatuan) yang dilakukan oleh komponen masyarakat masing-masing daerah, untuk memperjuangkan pemekaran Kabupaten (pembentukan kabupaten baru) di wilayah Riau. Bahkan dengan semangat kebersamaan yang dicetuskan oleh para pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928 itu juga, bangsa kita akhirnya dapat merancang tahapan merebut kemerdekaan dari belenggu penjajahan. Karenanya, adalah layak jika tanggal 28 Oktober kita nyatakan dan peringati sebagai ”Hari Persatuan dan Kesatuan Nasional” atau ”Hari Nasionalisme Indonesia”, selain sebagai ”Hari Sumpah Pemuda” yang selama ini kita peringati.
Hakikat dan Prasyarat Riau Inkorporasi
Namun sangat ironis, kondisi yang kontradiktif terjadi ketika apa yang diperjuangkan telah diraih, kita bercerai-berai, berperang dan saling berebutan untuk mendapatkan keuntungan masing-masing (pribadi maupun kelompok). Riau Incorporated (Inkorporasi), hanya di awal dan saat perjuangan dilakukan, setelah yang diperjuangkan didapat, azam bersama tersebut ditinggalkan. Konsepsi tentang Riau Inkorporasi sejatinya adalah ruh kebersamaan semua unsur (stakeholder dan shareholder) Rakyat Riau. Sinergi kekuatan dalam mengikhtiarkan pembangunan daerah ini dari awal perumusan, proses pelaksanaan dan mengawalnya (pengawasan). Masing-masing unsur (komponen) rakyat, bersinergi dan saling mengisi (kuat menguatkan), memainkan peran sesuai dengan posisi dan fungsi namun tetap dalam jalur menuju satu tujuan dan sasaran bersama. Tidak seperti perlombaan panjat pinang, yang masing-masing pemainnya memiliki nafsu untuk saling menjatuhkan dan mengalahkan lawan dengan cara menginjak kepala dan berebutan untuk mencapai posisi teratas.
Jepang adalah contoh negara yang sukses membentuk Japan Incorporated sejak dekade 1950-an. Terinspirasi dari keberhasilan Japan Incorporated, Douglas C North dan Robert W Fogel (pemenang Nobel Ekonomi 1993), memberikan penjelasan ilmiah atas prinsip kerjasama pada konsep Japan Incorporated, bahwa kemampuan suatu negara tidak terlepas dari bagaimana sistem atau jaringan antar kelembagaan berinteraksi untuk menghasilkan kinerja maksimal.
Riauisasi merupakan prasyarat utama untuk membentuk Riau Inkorporasi. Upaya untuk Riauisasi-pun sebenarnya telah dilakukan saat reformasi plus euphoria-nya disuarakan di Riau. Namun sangat disayangkan Riauisasi dimaksud hanya didasari emosional tanpa rasional yang logis dan proporsional. Contohnya antara lain keharusan semua pemimpin daerah ini (Gubernur, Walikota dan Bupati, Kepala Dinas Instansi dan lembaga-lembaga strategis) ditempati “orang Riau". Namun apa hendak dikata, bak menanam padi lalang yang tumbuh, setelah semua pemimpin daerah ini “orang Riau” plus dengan limpahan dana pembangunan dalam bentuk DBH, harapan rakyat Riau untuk merasakan (mendapatkan) kesejahteraan dan kemakmuran masih bagaikan pungguk rindukan bulan. Pemimpin yang katanya “orang Riau” ini menganggap kekayaan dan sumber daya ekonomi (termasuk didalamnya alokasi dana pembangunan APBN/APBD) adalah milik mereka saja, rakyat Riau yang lain hanya boleh menonton keserakahan yang mereka praktikkan tanpa boleh memberikan kritik apatah lagi meminta bagian.
Inilah contoh memaknai Riauisasi yang salah kaprah, Riauisasi yang disalahtafsirkan. Hakikat Riauisasi yang menjadi prasyarat Riau Inkorporasi adalah cara pandang seluruh rakyat yang tinggal dan menempati wilayah Riau, untuk menyatakan diri bahwa mereka anak jati Riau. Tidak ada Riau Inderagiri, Riau Kampar, Riau Bengkalis, Riau Siak, Riau Telukkuantan dan Riau-Riau lain. Demikian juga tidak dapat dipaksakan Riau hanya hak dan milik orang Melayu (“orang Riau”), tetapi Minang, Batak, Jawa, Bugis, Banjar dan puak-puak lain yang ada di Riau juga punya hak yang sama dan harus memiliki tanggung jawab (secara moral dan emosional) yang sama pula, untuk bersama-sama membawa Bahtera Lancang Kuning menuju pulau harapan, yakni Negeri Bermarwah, Cemerlang dan Terbilang. (*)
Penulis adalah Direktur Eksekutif Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Riau

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons