Jumat, 07 Januari 2011

onsep Implementasi Program Pembangunan Daerah

G. Konsep Implementasi Program Pembangunan Daerah

Dalam praktek pembangunan daerah di Riau selama ini tergambar dengan jelas bahwa pengorganisasian sumber daya organisasi, sumber daya manusia, anggaran dan prosedur dalam implementasi program pembangunan daerah belum terorganisir dengan baik. Hal ini terjadi, karena ditenderkan kepada tim pelaksana program dan proyek pembangunan fisik kepada kontraktor dan program khusus kepada PLP atau tim pelaksana program yang ditunjuk pimpinan program atau proyek (pimpro) Dinas Daerah, Kantor atau Badan yang mengadakan program atau proyek pembangunan. Justru dalam kenyataannya di lapangan, mereka ini kurang memahami situasi dan kondisi masyarakat tempatan.
Dominasi kekuasaan kontraktor dan PLP atau tim pelaksana program,
terkadang yang membuat masyarakat penerima program pembangunan menjad apatis. Selalu mengikut dan menerima saja tampa ada kritikan dan memberikan informasi yang berharga kepada tim atau personil pelaksana program. Terkesan masyarakat sudah muak dengan campur tangan yang berlebihan dari aparatur (agen) pembangunan sebagai pelaksana program atau proyek.

Dalam pembangunan fisik, selain proses tender kepada kontraktor yang tidak transparan dan berbau korupsi, kolusi, dan nepotesme. Sebahagian besar pelaksana program atau proyek tidak membawa serta masyarakat setempat. Dengan demikian suatu program pembangunan antara yang merencanakan, melaksanakan dan mengawasinya berbeda-beda, dan tidak jelas prosedur dan tanggung jawabnya.

Dari berbagai informasi ternyata dalam pelaksanaan program/proyek pembangunan fisik, sebahagian dananya ternyata telah dipotong oleh pimpro yang mentenderkan proyek sebesar antara 20 % – 40 %. Dengan demikian pelaksana proyek terpaksa harus mengurangi bahan-bahan pembangunan proyek, karena kontraktor juga ingin mendapatkan keuntungan. Pemotongan dana proyek pembangunan ini mengakibatkan kualitas proyek menjadi rendah.

Program khusus melalui Inpres atau S.K. Bersama Menteri, misalnya Program Inpres Desa Tertinggal dan Jaring Pengaman Sosial atau Program Pengembangan Kecamatan (PPK), dalam praktek prosesnya dibuat tidak transparan sehingga

ada Camat, Kepala Desa, Tim Pelaksana, Tim Pendamping, atau Ketua Kelompok Masyarakat memotong sebahagian dana program atau proyek untuk biaya resmi (honor, uang jalan, uang sidang, dll) atau biaya tidak resmi (uang seminar, dll). Sebenarnya dana tersebut harus disalurkan kepada anggota kelompok secara utuh tanpa pemotongan, karena dana administrasi telah disediakan dalam program tersebut.

Effendi, dkk., (1989:17) menyatakan sudah menjadi rahasia umum bahwa sejumlah besar dana Inpres program khusus digunakan untuk kepentingan insentif bagi pelaksana baik yang resmi maupun yang tidak resmi. Dana insentif pelaksana ini menyerap1/3 dana Inpres, dan justru digunakan bukan untuk menyerap tenaga kerja lokal. Dalam proses pembangunan masyarakat tidak memiliki akses untuk berpartisipasi dalam bersikap dan menentukan program dan proyek pembangunan. Para pimpinan diberbagai level dan tokoh masyarakat tidak berfungsi menggerakkan partisipasi masyarakat dalam rangka pencapaian tujuan program dan proyek pembangunan. Peranan masyarakat lokal hanya diberikan dalam hal menyediakan lahan atau lokasi proyek pembangunan dan mendata anggota masyarakat sebagai kelompok sasaran yang menerima bantuan. Sementara bagi masyarakat tidak jelas siapa yang merencanakan, melaksanakan dan mengawasi program atau proyek pembangunan tersebut. Kenyataannya realisasi program atau proyek pembangunan tersebut tidak tepat sasaran dan kurang berkualitas. Sebagai contoh program sarana air bersih yaitu proyek penyediaan bak air MCK (mandi, cuci dan kakus) dalam jangka waktu lima atau enam bulan sudah retak bahkan bocor. Agaknya memang demikian diciptakan, supaya tahun anggaran berikutnya diharapkan ada proyek renopasi, melanjutkan, atau membangun baru. Contoh yang lain adalah tidak bergulirnya dana IDT, dengan demikian tujuan semula program IDT tidak tercapai yaitu dalam jangka waktu tertentu penerima pertama harus menggulirkan dana IDT kepada kelompok yang lain.
Atas dasar penilaian masyarakat ternyata

program dan proyek pembangunan daerah hanya untuk diproyekkan disetiap tahun anggaran dalam APBN, APBD Provinsi dan APBD Kabupaten/Kota kepada sekelompok orang yang mendapatkan akses langsung kepada pihak pengambil keputusan.

Sejak awal, perencanaan program/proyek pembangunan memang sangat sentralistis karena program tersebut bersifat nasional dan dibiayai dengan anggaran pemerintahan Pusat, Propinsi, Kabupaten dan Kota, serta disalurkan melalui bank-bank nasional. Intruksi Presiden dan Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota dari atas mengatur prosedur pelaksanaan secara detail. Beribu-ribu rencana program atau proyek dari Desa dibawa ke Pusat, Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk dimintakan persetujuannya, karena memang merekalah yang memiliki anggaran dalam APBN, APBD Provinsi, APBD Kabupaten, dan Kota Dari deskripsi di atas, bila kita kembalikan pada kriteria teoritis, maka secara singkat terlihat bahwa program dan proyek tersebut dilihat dari struktur dan proses, pelaksanaan dan pengelolaan program dan proyek sangat bersifat sentralistis (top-down planning), birokrasi sangat tinggi dan penuh regulasi.

Dengan demikian salah satu faktor yang menyebabkan sentralisasi penyusunan dan pelaksanaan program adalah disebabkan pemerintahan dearah yang berotonomi belum optimal menggali dan mengelola sumber dana sendiri, meskipun sumber-sumbernya ada, dalam rangka pembiayaan program pembangunannnya. Dengan demikian, pemerintahan daerah tidak pernah atau belum optimal menyusun anggaran pembangunannya dalam APBD.
Persoalan lain yang tidak kalah penting dalam pembangunan daerah
adalah, terutama dalam
membangkitkan kesadaran

masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Dalam hal ini, sangat diperlukan peranan tokoh pimpinan formal dan informal sebagai figur kepemimpinan. Kepemimpinan yang baik adalah pemimpin yang memahami situasi dan kondisi yang dihadapi, sehingga memahami betul kapan saatnya dan dimana tempat yang tepat untuk melakukan tindakan (action).

Selain kepemimpinan, dalam menggerakkan masyarakat diperlukan pula kegiatan memotivasi dan komunikasi yang baik. Tentunya kepemimpinan yang baik adalah kepemimpinan yang tidak memberikan contoh perbuatan yang tercela, bermoral yang baik, mendahulukan kepentingan orang banyak dari kepentingan pribadi, mengayomi dan memiliki otos dan semangat kerja yang tinggi, berkerja keras, jujur dan berlaku adil.

Dalam pembangunan daerah di Provinsi Riau ke depan, figur kepemimpinan yang bertanggungjawab yang selalu didambakan dan diharapkan masyarakat daerah. Untuk mendapatkan pemimpin yang demikian, perlu proses pemilihan kepala daerah yang transparan, demokratis dan tanpa campur tangan dari Pemerintah Pusat dan kelompok kepentingan serta bebas KKN. Disinilah letak arti pentingnya pembangunan sosial terutama dalam mengaktualisasi nilai- nilai demokrasi dan partisipasi dalam pembangunan. Selain itu diperlukan pula pembinaaan sumber daya manusia aparatur Pemerintah melalui pendidikan
lanjutan, kursus-kursus dan pelatihan.

Dalam pengawasan dan evaluasi pembangunan daerah tidak jelas pula siapa yang melaksanakannya, sebagai contoh yang telah dikemukakan misalnya banyak program dan proyek yang tidak berkualitas, namun tidak pernah ada tindakan tegas untuk memperbaiki. Kenyataannya masyarakat tidak mengerti dan masih takut kepada siapa dan bagaimana caranya untuk melaporkan kegiatan program dan proyek yang tidak berkualitas atau menyimpang tersebut, termasuk kekayaan pejabat daerah yang patut dicurigai. Keberadaan DPRD yang diharapkan memberikan kontrol terhadap jalannya program dan proyek ternyata tidak berfungsi dengan optimal, karena keberadaan lembaga tersebut hanya lebih meutamakan kepentingan pribadi, kelompok, disamping belum diberdayakan. Hanya LSM dan Mahasiswa yang masih punya hati nurani memperjuangkan
hak-hak
rakyat
dan
penyimpangan
pelaksanaan
pembangunan.

Berdasarkan uraian di atas tentang berbagai faktor yang menyebabkan kurang optimalnya implementasi program pembangunan daerah, telah memberi ketegasan bahwa diperlukan proses pembelajaran antara masyarakat lokal dengan birokrat dalam pembangunan. Maksud gagasan ini adalah supaya program-program pembangunan diarahkan kepada peningkatan kapasitas organisasi dan masyarakat lokal untuk mampu melaksanakan program/proyek pembangunan secara mandiri. Dengan demikian, melalui proses pembelajaran dan pembinaaan dari Pemerintah yang telah memiliki sumber daya manusia yang memadai diharapkan pula pada suatu saat organisasi dan masyarakat lokal akan mandiri dan berdaya.
Selain dari itu, dalam jangka waktu tertentu, Pemerintah

Daerah memberikan dukungan sumber dana pembangunan kepada kelompok usaha masyarakat melalui lembaga-lembaga perekonomian daerah yang sudah dibentuk secara mapan, misalnya KUD dan Bank Pembangunan Daerah atau BPR. Dalam waktu yang bersamaan organisasi dan masyarakat lokal terus menggali dan mengembangkan sumber-sumber penerimaan pembangunan.
K2i DI PROVINSI RIAU
TPK2-GUBRI 2003-2008
31

Dengan demikian strategi pembangunan jangka panjang melalui otonomi Daerah yang berswadaya dan mandiri diharapkan dapat memberdayakan masyarakat (empewerment people) di daerah. Sehingga masyarakat lebih mengerti akan tugas dan tanggung jawabnya. Secara tidak langsung partisipasi masyarakat dalam pembangunan akan meningkat pula.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons