Jumat, 07 Januari 2011

Sistem Perencanaan Strategis dalam Pembangunan Daerah yang Kontekstual

H. Sistem Perencanaan Strategis dalam Pembangunan Daerah yang
Kontekstual

Arti penting sistem perencanaan strategis dalam pembangunan daerah yang kontekstual dimasa mendatang orientasinya tidak saja ditujukan kepada mengejar pertumbuhan yang cukup tinggi, tetapi secara bersamaan tercipta pula pemerataan pendapatan dan hasil-hasilnya. Banyak negara berkembang termasuk Indonesia gagal mengatasi masalah kesenjangan sosial yang cukup lebar yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai akibat tidak meratanya pembagian sumber-sumber produksi. Sekelompok orang dengan mudahnya memiliki dan menguasai faktor produksi yang diperoleh dari sumber kekayaan negara sebagai akibat kebijakan Pemerintah yang keliru. Ini disebabkan kebijakan ekonomi yang berpihak kepada sekelompok konglemerat yang dianggap memiliki peran lebih besar dalam pertumbuhan perekonomian nasional. Di pihak lain, mayoritas masyarakat usaha menengah, kecil dan koperasi tidak memperoleh akses dan kesempatan mendapatkan sumber-sumber produksi yang dikuasai negara akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.

Strategi pembangunan yang berpihak kepada rakyat banyak (ekonomi kerakyatan) yang hanya menguasai usaha menengah dan kecil sudah sangat mendesak dilaksanakan. Melalui kebijakan perampingan birokrasi dan deregulasi diberbagai peraturan, misalnya dalam pemberian kredit investasi dan modal kerja kepada usaha kecil dan ekonomi lemah harus lebih dipermudah. Jika Pemerintah benar-benar ingin mengatasi masalah kesenjangan sosial dan ketidak adilan ekonomi dalam pembangunan daerah dimasa yang akan datang Pembangunan untuk rakyat harus dilaksanakan dengan strategi memadukan antara pertumbuhan dan pemerataan. Dengan demikian sasaran pembangunan dalam arti yang luas, tidak saja pencapaian produktivitas melainkan juga secara bersamaan tercapai pula pemerataan hasil dan keseimbangan pembangunan diberbagai bidang: politik, ekonomi, sosial budaya dan ketahanan masyarakat.

Peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan hendaknya tidak saja dalam bentuk sumbangan pemikiran dan tenaga, melainkan juga pada peningkatan partisipasi sumbangan dana. Pada saat ini yang sering menjadi persoalan adalah bagaimana mengelola partisipasi masyarakat dalam bentuk sumbangan dana.

Dalam persekutuan masyarakat dari bentuk negara sampai masyarakat yang terkecil sebenarnya sumbangan dana dibenarkan dan penting artinya dalam pembangunan. Dalam sistem Pemerintahan Islam sumbangan tersebut merupakan kewajiban bagi orang yang kaya berupa zakat, infak atau sodaqah kepada orang–orang yang tidak mampu. Sumbangan tersebut dapat diberikan secara langsung atau melalui Pemerintah (penguasa) atau badan amal (amil zakat) yang kemudian disalurkan dalam bentuk program pembangunan yang bermanfaat.

Demikian pula Desa yang merupakan bagian wilayah Kabupaten/Kota yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah desa yang mampu menyelenggarakan pembangunan atas dasar kemampuan keuangannya sendiri. Untuk penggalian sumber-sumber keuangan desa tentunya diperlukan kewenangan yang lebih besar. Dalam peraktek pemerintahan di Indonesia sumber-sumber daerah banyak di pungut pemerintahan Pusat, Provinsi dan Kabupaten/kota. Misalnya

Pajak Bumi dan Bangunan sebahagian besar dananya masuk ke kas Kabupaten/Kota. Contoh lain adalah keberadaan perusahaan negara dan perusahaan swasta besar di perdesaan. Secara resmi tidak ada penghasilan perusahaan besar tersebut yang masuk ke kas Desa. Mungkin secara tidak resmi bantuan perusahaan besar tersebut langsung diberikan kepada aparatur atau tokoh masyarakat perdesaan, dengan maksud supaya mereka tidak mengalami kesulitan menghadapi kritikan masyarakat Desa dari kebijakan perusahaan yang merugikan kepentingan masyarakat setempat. Sebagai contoh adalah program bantuan ternak sapi dan perjalanan ke tanah suci dari PT. RAPP melalui DepartemenCommunity Development (CD) kepada masyarakat Desa Pangkalan Kerinci. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat, ternyata program bantuan ternak sapi diantaranya ada yang diberikan kepada mereka yang secara ekonomis sudah mapan, misalnya diberikan kepada ketua KUD atau pengurus pasar. Sedangkan sebahagian masyarakat lain yang sangat membutuhkannya tidak mendapatkan bantuan program tersebut. Ini artinya ada proses dalam pembagiannya tidak transparan dan tidak adil. Sedangkan program perjalanan ke tanah suci, salah satunya diberikan pula kepada Kepala Desa, ini menunjukkan program bantuan tersebut tidak jelas tujuan, sasaran dan manfaatnya. Dengan demikian cukup kuat alasan bahwa perusahaan hanya ingin menyenangkan dan membungkam kritikan dari anggota masyarakat yang memiliki posisi kuat (bargening pocition) yang diperkirakan dapat membahayakan keberadaan perusahaan tersebut di perdesaan.
Pada sisi yang lain, hasil keuntungan perusahaan sebahagian besar
justru

disetor pula ke Pemerintah Pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap perusahaan, selain itu perusahaanpun seakan-akan tidak ada kewajiban untuk berhubungan dengan pemerintah daerah, tidak terbuka dalam manajemennya dan tidak jelas konstribusinya kepada daerah. Sebenarnya apa yang hilang dan yang diperoleh masyarakat dari keberadaan perusahaan besar tersebut, tidak lain adalah :Pertama, masyarakat akan kehilangan lahan pertanian;Kedua, masyarakat mendapatkan limbah perusahaan; danKetiga, masyarakat termarjinalkan.

Dimasa yang akan datang, pemerintahan daerah yang berotonomi, tentunya sangat memerlukan sumber-sumber dan penghasilan yang memadai. Apabila pemerintahan yang berotonomi ini tidak dapat melaksanakan kewenangannya dan kewajibannya secara baik, maka akan menimbulkan krisis partisipasi bahkan perlawanan dari masyarakat terhadap Pemerintah Daerah. Atas dasar logika bahwa apsek perencanaan pembangunan daerah harus pula disertakan dengan penyusunan APBD. Dimasa yang akan datang salah satu faktor terpenting yang perlu direformasi dalam rangka proses pembelajaran menuju pemberdayaan masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan daerah perlu menata kembali sistem anggaran pendapatan dan belanja pembangunannya supaya lebih terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, dimasa yang akan datang salah satu faktor yang terpenting adalah bagaimana suatu sistem terbuka perencanaan strategis pembangunan yang disertakan
dengan
penyusunan
anggaran
yang
transparan

dan dipertanggungjawabkan kepada masyarakat bukan hanya sekedar diterima DPRD, sebagai suatu perwujudan otonomi Daerah yang berswadaya.
Efektivitas konsep sistem terbuka perencanaan strategis dalam
pembangunan perdesaan
yang kontekstual memerlukan pula beberapa

persyaratan yang harus selalu terpenuhi, yaitu :
a. Ketersediaan data dan informasi yang akurat dan kontinuitas.
b. Sumber daya manusia yang handal.
c. Peralatan dan bahan atau perlengakapan organisasi yang
memadai.
d. Sumber pendanaan yang cukup.
e. Adanya kemauan politik pemerintah untuk mereformasi
administrasi.
1. Pendekatan Pembangunan Perdesaan

Menurut Kaho (1978) ada beberapa factor kemampuan suatu daerah dalam rangka kemampuan penyelenggaran pemerintahan yang ber otonomi, yaitu :

1.Organisasi (kelembagaan)
2.manajemen (manajerial)
3.Sumber Daya Manusia
4.Keuangan
Pada tahun 1854 Pemerintah Belanda mengeluarkan Peraturan Pemerintah (Regerrings Reglement, RR), pasal 71 RR menetapkan hak masyarakat desa(inlandsche gemeente) untuk memilih kepala desanya dan menyelenggarakan rumah tangganya sendiri. Ini jelas sebagai bentuk pengakuan Pemerintah Belanda.

Dari awal masa kemerdekaan sampai pertengahan tahun enampuluhan otonomi desa terus berkembang. Namun, sejak masa “Orde Baru”, terjadi perubahan yang oleh Hansen (1981:178) disebut sebagai masa memudarnya otonomi desa dan mengetatnya kontrol pemerintah pusat kepada desa. Sejak itu secara berangsur profil desa sebagai pelaksana intruksi pihak atas semata-mata, semakin jelas dan struktural. Ndraha (1990:157) menyatakan, hal itu sudah barang tentu tidak mendorong berkembangnya inisiatif dan prakarsa masyarakat desa. Soetardjo (1965:25) menyatakan pula, dahulu otonomi desa merupakan otonomi yang tumbuh bersamaan dengan tumbuhnya masyarakat berdasarkan hukum adat dan tradisi, kini otonomi itu merupakan pemberian dari atas (pemerintah pusat).

Pada tahap perkembangan berikutnya pemerintah Orde Baru mengeluarkan UU No. 5 tahun 1979 dan setelah 20 tahun kemudian di era reformasi diganti dengan UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, namun konsep otonomi desa yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 tersebut tidak terealisasi dengan baik oleh pemerintah desa, kerena tidak diatur secara jelas dan rinci dalam Peraturan Pemerintah.

Ndraha (1990:160) menyatakan, menghadapi perubahan sosial, tampaknya kepemimpinan pemerintahan desa belum mampu berperan. Karena itu, pemimpin formal dan informal di desa dituntut kualitas yang lebih baik, seperti: tingkat pendidikan, mempunyai sifat orientasi kedepan, dan kemampuan mencapai sasaran. Syarat- syarat ini sulit untuk dipenuhi oleh tenaga-tenaga pemerintahan desa dewasa ini. Selain itu program pemerintah untuk pendidikan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia di perdesaan kurang sungguh-sungguh, disamping alokasi anggaran pembangunan untuk perdesaan masih relatif kecil, bila dibandingkan alokasi dana pembangunan di perkotaan. Bryant dan White (1982:369) menyatakan, apabila konsep otonomi desa dilaksanakan oleh masyarakat perdesaan dengan baik akan memberikan pengaruh yang cukup besar kepada keberhasilan pembangunan secara nasional. Pendapat tersebut dapat dipahami, karena hakekat otonomi adalah memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat perdesaan untuk mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri, termasuk kewenangan mencari sumber-sumber pembiayaan pembangunan (UU No. 22 Tahun 1999). Apabila kewenagan pemerintahan desa yang berotonomi ini tidak dapat terlaksana dengan baik maka akan menimbulkan krisis partisipasi dari masyarakat. Rusadi (1988:176) menyatakan :

dalam proses pembuatan keputusan apapun yang menyangkut kepentingan masyarakat perdesaan pemerintah selalu menganggap lebih memahami persoalan, lebih banyak turunnya dari atas (top down), selalu mengikat dan terkesan dipaksakan, sebagai konsekuensi logisnya menimbulkan dampak krisis partisipasi.
2. Pemerintah Desa beserta Perangkat Desa

Meskipun kewenangan kepala desa cukup besar namun tidak diiringi dengan kemampuan dan kapasistas SDM yang cukup untuk melaksanakan pembangunan sehingga desa sebagai daerah otonom belum mampu dilaksanakan sesuai kewenangannya dalam melaksanakan otonominya.

Pada hakekatnya kepala desa dipilih oleh masyarakat desa melalui pemilihan yang demokratis. Sebagai konsekuensinya kepala desa tentunya bertanggung jawab kepada siapa yang memilihnya. Dapat ditegaskan disini bahwa Bupati sebagai Kepala Daerah Kabupaten hanya menerima laporan sebagai tembusan. Dalam kaitan ini permasalahan harmonisasi hubungan kepala desa dengan camat sebagai perangkat daerah dapat diselesaikan, apabila ada kejelasan dan ketegasan pelimpahan kewenangan dari bupati kepada cawat dalam tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dalam struktur organisasi pemerintah Desa telah ada pembagian kerja dan diharapkan pelaksanaan tugas menjadi lebih lancar. Apabila dilihat dari struktur organisasi Pemerintahan Desa ini sudah jelas siapa sebagai unsur pimpinan, unsur staf dan unsur pelaksana, namun hal yang masih lemah adalah kurangnya pembinaan dari Pemerintah Kecamatan dan Kabupaten. Malah yang lebih menonjol adalah campur tangan Pemerintah yang lebih tinggi atau di atasnya.
2. BPD (Badan Perwakilan Desa)

Pada permulaan tumbuh dan berkembangnya pemerintahan desa, lembaga yang memiliki kekuasaan tertinggi di perdesaan menurut hukum adat adalah Rembug Desa atau Rapat Desa. Ndraha (1990:157) menyatakan:

sebagai pemegang kekuasaan (menurut) hukum adat di desa adalah lembaga yang disebut Rembug Desa, Rapat Desa atau Kerapatan Negeri. Lembaga inilah yang memegang kekuasaan tertinggi di desa. Kepala Desa bersama-sama pembantu-pembantunya merupakan unsur pelaksana di bawah Rembug Desa yang merencanakan dan melaksanakan pembangunan.

Akan tetapi pada perkembangan berikutnya fungsi mengatur (legislatif) yang dimiliki desa lambat laun berkurang karena Lembaga Musyawarah Desa (LMD) dijadikan unsur pemerintah desa, bukan substitusi atau peningkatan Rembug Desa, sumber-sumber administratif pemerintah desa lemah, sementara tugas dan tanggung jawabnya semakin berat. Pemerinatah desa diperlakukan sebagai pelaksana instruksi dari atas belaka. Hal ini terjadi lebih-lebih karena kebijakan pemerintah yang lebih mementingkan pencapaian target, formalitas, keserempakan, keseragaman, dan sifat massal.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa salah satu unsur Pemerintahan
Desa adalah Badan Perwakilan Desa. Pasal 104 UU No. 22 tahun 1999 menetapkan bahwa Badan Perwakilan Desa atau yang disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintah Desa. Selanjutnya pasal 105 UU No. 22 tahun 1999 mengatur tentang Badan Perwakilan Desa yaitu: Anggota Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh penduduk Desa yang memenuhi persyaratan, Pimpinan Badan Perwakilan Desa dipilih dari dan oleh anggota, Badan Perwakilan Desa bersama dengan Kepala Desa menetapkan Peraturan Desa, dan Pelaksanaan Peraturan Desa ditetapkan dengan keputusan Kepala Desa.

Kedudukan politis LMD sebelumnya yang sekarang dengan telah ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999 dirubah namanya menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD) atau disebut dengan nama lain. BPD adalah wadah permusyawaratan/pemukatan pemuka-pemuka masyarakat desa, bertugas menyalurkan pendapat masyarakat Desa dan memusyawarahkan setiap rencana pembangunan sebelum ditetapkan menjadi Keputusan Desa.

Sebenarnya tugas dan fungsi BPD sama DPRD di Provinsi dan Kabupaten/Kota, namun dalam kenyataanya belum diberdayakan. Selain anggotanya belum mampu memainkan peran, juga karena kuatnya pengaruh Kepala Desa. Fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang diharapkan berjalan mencapai keseimbangan antara kekuasaan legislatif dan eksekutif tidak berjalan sebagaimana mestinya. Ini merupakan kendala otonomi desa dimasa yang akan datang.
4. LKD (Lembaga Ketahanan Desa)

Pada awalnya Lembaga masyarakat yang tumbuh dari bawah dan dapat mengemban fungsinya sebagai pembimbing dan penyuluh berbagai pekerjaan sosial desa, dan mampu menjadi saluran aspirasi masayarakat desa adalah Lembaga Sosial Desa. Namun, melalui KEPRES No. 28 Tahun 1980, LSD diubah menjadi Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD). Kemudian menurut pasal 106 UU No. 22 Tahun 1999 selain lembaga Badan Perwakilan Desa, di Desa terdapat juga lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan Desa
dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Kepala Desa karena jabatannya merangkap sebagai ketua umum LKMD. Sesungguhnya LKMD memiliki fungsi yang sangat strategis sebagai perangkat perencana dan pelaksana pembangunan desa dan membantu kepala desa dalam mengkoordinasikan pembangunan, menggerakkan partisipasi masyarakat dan mendorong kegotongroyongan masyarakat, tetapi pada kenyataannya kurang berfungsi, karena lebih besar pengaruh kepala desa dalam proses pengambilan keputusan.

Melalui kedudukannya sebagai Ketua Umum LKMD, Kepala Desa berfungsi merencanakan dan mengendalikan pelaksanaan pembangunan Desa. Jika dihubungkan dengan Bab IV Bagian D Umum angka 2 huruf f GBHN 1978 maka kemampuan pemerintah Desa untuk melaksanakan tugasnya langsung bertalian dengan usaha menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dan penyelenggaraan administrasi desa yang semakin meluas dan efektif.

Selanjutnya pada tahap perencanaan pembangunan di tingkat Kecamatan juga tidak memperkokoh sistem perencanaanbottom up planning. Hanafiah (1982:56) menyatakan bahwa :

pembentukan sistem UDKP diharapkan dapat berfungsi sebagai sistem perencanaan, pelaksanaan, pengendalian serta evaluasi pelaksanaan pembangunan wilayah yang menyeluruh dan terpadu di tingkat Kecamatan, namun karena pembangunan perdesaan hendak dipadukan dalam jangkauan kewenangan Camat selaku kepala Wilayah, hal ini justru semakin memperkokoh sistem “top down planning” dalam pembangunan perdesaan.
Dalam kaitan organisasi

perencanaan pembangunan, berdasarkan pendekatan kontekstual sebaiknya kewenangan menentukan tujuan, sasaran dan program pembangunan lebih besar diserahkan kepada organisasi lokal.
Sedangkan pemerintah yang lebih tinggi tingkatannya hanya sebagai fasilisator
dan memberi bimbingan. Esman dan Uphoff (1982:9) menyatakan:

organisasi lokal adalah organisasi penduduk desa yang bertanggung jawab kepada anggota-anggotanya dan terlibat dalam berbagai kegiatan pembangunan. Sejauhmana organisasi ini berhasil merealisasikan potensinya sebagai organisasi yang tumbuh dari bawah (grass root
organization),
bergantung
pada
cara
mendirikan
dan
mengembangkannya.

Dengan demikian organisasi harus mencerminkan pengalaman, kemampuan dan keinginan anggotanya. Baik struktur maupun prosedur janganlah dikendalikan secara seragam dari luar, sementara pengembangannya haruslah merupakan “learning process” bagi semua pihak.
Friedmann (1981: 42) menyatakan bahwa :

pembangunan desa (rural development) harus dibimbing secara sentral tetapi dilandaskan pada kondisi setempat. Bimbingan dari atas hanya mungkin efektif jika di perdesaan ada organisasi yang mampu menerima, menyerap, menterjemahkan dan menanggapi bimbingan tersebut. Organisasi yang dimaksud haruslah yang mampu berbicara untuk dan atas nama masayarakat setempat.

Dengan kemampuan administratifnya, pemerintah desa diharapkan mampu menggali, menggerakkan, dan mengkombinasikan masukan-masukan, mencegah berbagai akses sistem dari atas ke bawah, dan mengefektifkan sistem dari bawah ke atas, sedemikian rupa, sehingga sasaran pembangunan perdesaan dapat dicapai.
Ada beberapa anggapan yang keliru dari pengambil kebijakan.
Kartasasmita (1996:146-147) menyatakan bahwa:
1. Pendekatan pembangunan yang berasal dari atas lebih sempurna dari
pada pengalaman dan aspirasi pembangunan di tingkat bawah (grass
root). Akibatnya kebijakan pembangunan menjadi kurang efektif karena kurang mempertimbangkan kondisi yang nyata dan hidup di
masyarakat;

2. Masyarakat di lapisan bawah tidak tahu apa yang diperlukannya atau bagaimana memperbaiki nasibnya. Oleh karena itu mereka harus dituntun dan diberi petunjuk dan tidak perlu dilibatkan dalam perencanaan meskipun yang menyangkut dirinya sendiri. Akibat dari anggapan ini banyak proyek-proyek pembangunan yang ditujukan untuk rakyat, tetapi salah alamat, tidak memecahkan masalah, dan bahkan merugikan rakyat.

Dari kenyataan tersebut di atas bahwa pemerintah masih kuat menggunakan pendekatantop down strategis dirasakan kurang efektif dalam pembangunan. Perencanaan dari atas menunjukkan bahwa semua ide berasal dari atas (pemerintah). Akibatnya pihak atas kurang memperhatikan kultur masyarakat, daya dukung wilayah yang bersangkutan, dan peranan kelembagaan. Karena itu, misalnya pada program inpres desa tertinggal banyak menemui kegagalan, walaupun perencanaan dari atas juga mempunyai kebaikan-kebaikan. Melihat kenyataan tersebut, Nasoetion dan Tadjuddin (Budiharsono, 1989:30) memberi alternatif pemecahan berupa konsep perencanaan dari bawah, hal demikian sesuai dengan semangat pemerintahan yang desentralisasi dalam rangka pemberian otonomi yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada desa. Ndraha (1990:147) menawarkan pendekatan yang lebih tepat mengenai sasaran kepada aspirasi masyarakat yaitu pola balik yang disebut pola dari bawah ke atas (bottom up strategis). Namun pola tersebut diharapkan tidak hanya bersifat formal, melainkan sungguh-sungguh mengakar- rumput, atau “gross root”. Selanjutnya Budiharsono (1989:31) menyatakan pengadaptasian perencanaan pembangunan dari bawah dalam konteks pembangunan nasional bukan berarti membunuh total perencanaan dari atas yang berlaku saat ini. Perencanaan dari atas masih mungkin untuk tetap diberlakukan sepanjang masih dengan “konsensus nasional” yaitu UUD 45 dan Pancasila.
Sekarang pada siapakah tanggung jawab bagi perencanaan dan pelaksanaan proyek-proyek, program-program dan kebijakan-kebijakan pembangunan diberikan. Persoalannya, bergantung bagaimana menemukan kombinasi antara desentralisasi dan sentralisasi yang cocok untuk berbagai tugas pembangunan.
5.Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) termasuk usaha Desa :

Struktur juga mendukung pelaksanaan tugas dalam hal pembiayaan. sehari-hari dan biaya operasional keluar. Pasal 107 ayat 1 UU No. 22 tahun 1999 menetapkan sumber pendapatan desa terdiri dari :pertama, pendapatan asli Desa yang meliputi hasil usaha Desa, hasil kekayaan Desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah;kedua, bantuan dari Pemerintah Kabupaten yang meliputi bagian dari perolehan pajak dan retribusi Daerah, dan bagian dari dana perimbangan keuangan Pusat dan daerah yang diterima oleh Pemerintah Kabupaten;ketiga, bantuan dari Pemerintah dan Pemerintan Provinsi;keempat, Sumbangan dari pihak ketiga; dankelima, pinjaman desa.

Sumber pendapatan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1), menurut pasal 107 ayat 2 UU No. 22 tahun 1999 dikelola melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD); ayat 3 menetapkan Kepala Desa bersama Badan Perwakilan Desa (BPD) menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD) setiap tahun dengan Peraturan Desa (Perdes.); ayat 4 menetapkan pedoman penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan oleh Bupati; ayat 5 menetapkan tata cara pungutan objek Pendapatan dan Belanja Desa ditetapkan bersama antara Kepala Desa dan badan perwakilan Desa. Selanjutnya pasal 108 UU No. 22 tahun 1999 menetapkan pula bahwa Desa dapat memiliki badan usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Desa yang diharapkan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik adalah Desa yang mampu menyelenggarakan pembangunan atas dasar kemampuan keuangannya sendiri. Untuk penggalian sumber-sumber keuangan Desa tentunya diperlukan kewenangan yang lebih besar. Dalam peraktek pemerintahan di Indonesia sumber-sumber perdesaan banyak di pungut pemerintahan Kabupaten/ Kota. Misalnya

Pajak Bumi dan Bangunan sebahagian besar dananya masuk ke kas Kabupaten/Kota. Contoh lain adalah keberadaan perusahaan negara dan perusahaan swasta besar di perdesaan. Secara resmi tidak ada penghasilan perusahaan besar tersebut yang masuk ke kas Desa. Mungkin secara tidak resmi bantuan perusahaan besar tersebut langsung diberikan kepada aparatur atau tokoh masyarakat perdesaan.

Pada sisi yang lain, hasil keuntungan perusahaan sebahagian besar justru disetor pula ke Pemerintah Kapupaten/Kota, Provinsi dan Pusat melalui berbagai peraturan perundangan yang diberlakukan terhadap perusahaan..

Dimasa yang akan datang, pemerintahan perdesaan yang berotonomi, tentunya sangat memerlukan sumber-sumber dan penghasilan yang memadai. Atas dasar logika bahwa apsek perencanaan pembangunan perdesaan harus pula disertakan dengan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBD). Dimasa yang akan datang salah satu faktor terpenting yang perlu direformasi dalam rangka proses pembelajaran menuju pemberdayaan masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan Desa perlu menata kembali sistem anggaran

pendapatan dan belanja pembangunannya. Dalam penyusunan APBD harus tercermin pula sisi sumber-sumber penerimaan Desa dan sisi pengeluaran untuk biaya rutin dan biaya pembangunan desa.

Harus disadari bahwa pembinaan otonomi desa merupakan tanggung jawab semua, baik Pemerintah pusat, Provinsi dan Kabupaten. Misalnya porsi bantuan dan dana perimbangan sumer daya alam masing-masingnya adalah Pusat membantu 20 %, Provinsi 30 % dan Kabupaten/kota 50 % dari 50 % total kebutuhan biaya pembangunan perdesaan.
6. Lembaga Adat
Seperti telah dikemukakan pada uraian terdahulu bahwa pemerintahan
Desa memerlukan dukungan keuangan dan dukungan struktur organisasi dalam rangka pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan dukungan lingkungan. Dukungan lingkungan terhadap Pemerintahan Desa terletak pada kenyataan bahwa Kepala Desa maupun pembantu-pembantunya merupakan tokoh-tokoh pilihan masyarakat setempat.

Dengan kemampuan adminsitratif seperti diuraikan di atas, pemerintahan Desa diharapkan mampu menggali, menggerakkan dan mengkombinasikan masukan-masukan, mencegah berbagai akses sistem dari atas ke bawah, dan mengefektifkan sistem dari bawah ke atas, sehingga sasaran pembangunan desa dapat dicapai.

Dewasa ini Desa selalu ada dua kelompok tokoh pemimpin, yaitu tokoh formal dan tokoh informal. Tokoh formal merupakan pemerintah Desa yang mempuyai kekuatan hukum. Tokoh informal merupakan tokoh yang mempunyai kekuatan ikatan batin dengan warganya sehingga besar pengaruhnya pada masyarakat. Tokoh formal kelopok pertama terdiri dari : Kepala Desa, Setretaris Desa, Kepala-kepala Urusan, Kepala-kepala Dusun, Ketua dan anggota BPD, Ketua dan Seksi LKMD, Pengurus PKK, Ketua RW atau RK, Ketua RT. Tokoh formal kelompok kedua yaitu semua petugas instansi terkait dalam pembangunan Desa, terdiri dari : Dephankam (Babinsa dan Bimpolda), Dinas P dan K (penilik SD, penilik olahraga, dan penilik pendidikan), Dinas Kesehatan (dokter, juru rawat, dan sanitarian), Dinas Pertanian dan Kehutanan (PPL, mantri kehewanan, polisi hutan, penyuluh penghijauan, dan mantri perikanan), Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah (petugas pengairan (P3S), TSKT, sarjana penggerak pembangunan Desa), Dinas Sosial (TKSS, PSM, dan PSK), Badan Penerangan (juru penerangan dan penerangan transmigrasi), Dinas Koperasi dan PKM (petugas penerangan KUD), Dinas Perindustrian dan Perdagangan (petugas proyek BIPIK perindustrian), BKKBN (PLKB), BRI (petugas BRI unit Desa), Perguruan Tinggi (Mahasiswa KKN dan PKL).

Sedangkan tokoh informal antara lain : pemuka agama, pemuka adat, tokoh yayasan sosial dan pendidikan, tokoh pemuda, pimpinan organisasi kemasyarakatan, pimpin Orsospol komisariat Desa, kelompok petani dan nelayan, kelompencapir, dan lain-lain sebagainya sebagai tokoh informal. Kedua kelompok tokoh formal dan tokoh informal tersebut merupakan kekuatan yang sangat besar jika dapat dipersatukan untuk menggerakkan masyarakat dalam pembangunan. Karena mereka ini merupakan pelopor (agen
pembangunan) bagi masyarakat dalam menggerakkan roda pembangunan,
khususnya pembanguan pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, jasa
dan perdagangan, pariwisata dan lain-lain sebagainya,.

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons