Jumat, 07 Januari 2011

Pendekatan Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi

J. Pendekatan Pembangunan dan Pemerataan Ekonomi

Dalam meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilakukan dengan menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mendukung perekonomian masyarakat. Misalanya KUD, Bank Pembangunan Daerah atau BPR, Pasar dan pengadaan sarana produksi dan distribusi Daerah. Apabila semua masyarakat usahanya sudah diwadahi oleh KUD yang didukung pula dengan pengadaan sarana produksi dan distribusi, sementara Bank Pembangunan Derah atau lembaga keuangan lainnya menyediakan fasilitas kredit untuk modal usaha dan modal kerja maka diharapkan masyarakat lebih akses dan berdaya dalam berusaha.

Penumpukan produksi dapat pula diatasi apabila KUD dan berbagai lembaga perekonomian lainnya benar-benar berfungsi tidak saja sebagai wadah produksi, melainkan juga sebagai penyalur (distribusi) produk daerah ke pasar lokal, regional bahkan ke pasar Internasional.

Dukungan Pemerintah yang sangat dibutuhkan di sini adalah pembinaan lembaga perekonomian dan dukungan (support) dana yang dititipkan pada lembaga KUD atau lembaga keuangan (Bank Perkeriditan Rakyat). Alternatif ini perlu lilakukan, karena pengalaman telah membuktikan bahwa dana yang disalurkan melalui berbagai program/proyek ternyata kurang efektif untuk mengangkat harkat dan martabat manusia di daerah sebagaimana maksud dan tujuan program/proyek diadakan. Sebagai akibat dari proses dan struktur program/proyek terlalu birokratis dan regulasi. Selain dari itu, dukungan Pemerintah diperlukan pula dalam hal memberi informasi produk daerah apa saja yang dibutuhkan pasar lokal, regional dan pasar Internasional.

Secara umum pembangunan di bidang fisik khususnya penyediaan sarana dan prasarana di daerah belum pula optimal. Misalnya, yang hampir terlupakan adalah pengadaan fasilitas dan perangkat pendukung pelatihan kerja kepada petani dan nelayan. Selain bertujuan meningkatkan kemampuan petani dan nelayan pelatihan ditujukan pula kepada proses pengenalan dan adaptasi teknologi baru terhadap teknologi dan budaya kerja setempat. Tidak mungkin petani dan nelayan kita akan mencapai taraf kemajuan yang lebih baik tanpa menguasai ilmu pengetahuan, keterampilan dan teknologi dalam berusaha tani, meskipun telah didukung oleh sarana dan prasarana umum yang memadai.

Selanjutnya, dalam bidang pembangunan lingkungan hidup di daerah ternyata hasilnya belum pula optimal. Masih terdapat beberapa faktor kerusakan lingkungan, khususnya tanah perdesaan di Riau yang disebabkan oleh faktor alam dan ulah manusia. Kerusakan karena faktor alam banyak disebabkan oleh gelombang pasang terutama

Desa-desa pesisir dan pantai. Sedangkan kerusakan karena faktor ulah manusia disebabkan oleh sikap yang berlebihan dari perusahaan (investor) dalam pembukaan lahan perkebunan. Mengakibatkan gundulnya hutan yang berdampak pada tingkat erosi tanah yang cukup tinggi. Faktor kerusakan tanah yang lain disebabkan adat atau tradisi pembagian tanah warisan, sehingga lahan menjadi sempit dan kurang produktif (pregmentatie), tanpa ada usaha membuka lahan baru yang lebih luas.

Pembangunan daerah di Riau termasuk gagal dalam mengatasi masalah kesenjangan sosial yang cukup lebar yang terjadi dalam masyarakat. Sebagai akibat tidak meratanya pembagian sumber-sumber produksi. Sekelompok orang dengan mudahnya memiliki dan menguasai faktor produksi yang diperoleh dari sumber kekayaan negara dan Daerah sebagai akibat kebijakan Pemerintah terlalu berlebihan dan berpihak kepada sekelompok konglemerat yang dianggap memiliki peran dalam pertumbuhan perekonomian. Di pihak lain, mayoritas masyarakat usaha menengah, kecil dan koperasi tidak memperoleh akses dan kesempatan mendapatkan sumber-sumber produksi yang dikuasai negara dan Daerah akan mengalami kesulitan dalam mengembangkan usahanya.
Strategi pembangunan yang berpihak kepada rakyat

Ekonomi kerakyatan) yang hanya menguasai usaha menengah dan kecil sudah sangat mendesak dilaksanakan, melalui kebijakan parampingan birokrasi dan deregulasi diberbagai peraturan, misalnya dalam pemberian kredit investasi dan modal kerja kepada usaha kecil dan ekonomi lemah harus lebih dipermudah. Tentunya, jika Pemerintah Daerah benar-benar ingin mengatasi masalah kesenjangan sosial dan ketidakadilan ekonomi dalam pembangunan dimasa yang akan datang.

Visi dan misi Riau 2020 akan mendekati kenyataan apabila semua pihak: pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat memiliki komitmen dan dapat bekerjasama yang saling menguntungkan dan adil. Terutama dalam kegiatan produksi dan distribusi dengan memanfaatkan potensi alam dan masyarakat secara optimal dan berkelanjutan. Hal ini dapat diwujudkan, apabila mampu menghasilkan barang dan jasa yang memiliki nilai ekonomis dari potensi yang dimiliki luas lahan dan potensi kelautan dimanfaatkan pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat untuk kegiatan pertanian, perikanan, perkebunan, industri dan perdagangan secara professional, ekonomis dan berteknologi tinggi.

Di Riau dalam hal pembangunan ekonomi kerakyatan belumlah dapat dikatakan berhasil. Pembangunan perekonomian masyarakat di Riau telah menimbulkan dampak terjadinya kesenjangan sosial dan kesenjangan tingkat pendapatan yang cukup tinggi.

Ada sekelompok kecil masyarakat sebagai pemilik perusahaan pertambangan, perkebunan, industri pengolahan (manufactur) kayu lapis, telah meraih keuntungan dengan pendapatan perkapita yang cukup tinggi atas sumber-sumber kekayaan alam di Riau, sedangkan sebahagian besar masyarakat terutama yang tinggal di perdesaan pendapatan perkapitanya cukup
kecil.

Dengan meningkatnya persentase penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di Riau, membuktikan bahwa hasil pembangunan yang dinikmati masyarakat sampai lapisan terbawah (trickle-down effect) yang melekat pada paradigma pertumbuhan (growth paradigm) ternyata tidak terwujud bahkan yang terjadi justru kesenjangan semakin melebar.

Sebagai akibat penerapan secara bulat konsep ekonomi liberal kapitalis, tanpa menyesuaikan dengan peradaban sosial budaya masyarakat daerah di Provinsi Riau, ternyata kemajuan-kemajuan ekonomi daerah di Provinsi Riau dianggap telah gagal, karena hanya menguntungkan sebahagian kecil individu dan kelompok dalam masyarakat.

Sebagai akibat kebijakan pembangunan yang keliru tersebut, ternyata sekelompok individu dalam masyarakat yang tinggal di ibu kota sudah baik keadaannya, secara ekonomi lebih mampu dan dapat memanfaatkan sumber- sumber kekayaan Daerah Provinsi Riau. Sebahagian kecil jumlah masyarakat ekonomi kelas atas selalu mendapat peluang dan kesempatan yang lebih luas bila dibandingkan dengan mayoritas masyarakat ekonomi lemah yang tinggal di daerah kumuh atau kantong kemiskinan di perkotaan dan perdesaan. Dengan demikian yang kaya semakin kaya dan yang miskin tetap miskin bahkan menjadi lebih miskin lagi.

Pasal 33 UUD 1945 telah mengamanatkan bahwa demokrasi ekonomi secara harfiah berarti kedaulatan rakyat di bidang kehidupan ekonomi. Kalau demokrasi ekonomi dijabarkan maka bermakna produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua dibawah pimpinan atau kepemilikan anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian dalam demokrasi ekonomi, kemakmuran masyarakat yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Kemakmuran yang hendak dicapai haruslah kemakmuran atas dasar keadilan sosial.
Dewasa ini masalah yang masih mengganjal

bagi pembangunan demokrasi ekonomi di Provinsi Riau berdasarkan hasil penelitian yaitu masih adanya ketidakseimbangan kemampuan dan kesempatan berusaha antara pihak-pihak diberbagai lapisan masyarakat antara yang menguasi dengan yang tidak menguasi sumber-sumber produksi. Sudah saatnya dimasa yang akan datang pembangunan ekonomi yang berakar kepada kerakyatan dianggap lebih tepat di terapkan di Provinsi Riau. Selain dapat meningkatkan kemampuan masyarakat yang berpenghasilan rendah, juga sebagai upaya Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam menciptakan pemerataan pendapatan dan sekaligus mengatasi kesenjangan sosial. Diantara upaya yang perlu dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi Riau termasuk Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota adalah kebijakan debirokratisasi dan deregulasi yang transparan dan seadil-adilnya.

Dalam rangka peningkatan kemampuan perekonomian masyarakat di daerah Provinsi Riau tidak lain dengan memberdayakannya. Strategi yang dikembangkan adalah pembangunan ekonomi yang bertumpu pada pertumbuhan yang dihasilkan melalui upaya pemerataan, dengan penekanan pada peningkatan kualitas sumber daya manusianya.

Pemberdayaan masyarakat perdesaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota masyarakat, melainkan termasuk pula membangun pranata- pranatanya, dalam hal menanamkan nilai-nilai budaya modern misalnya kerja keras, keterbukaan, hemat, dan bertanggung jawab. Demikian pula pembaharuan lembaga-lembaga sosial daerah dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya melalui proses pembelajaran.

Pengembangan ekonomi yang berakar pada kerakyatan tetap pula mengacu pada pertumbuhan, pemerataan, stabilitas dan peningkatan sumber daya manusia. Selain itu perlu pula mempercepat berbagai proses perubahan dari masyarakat daerah yang masih berpikir dan berprilaku tradisional ke masyarakat modern, dari sistem ekonomi yang subsistem ke ekonomi pasar, dan dari ketergantungan masyarakat

terhadap pemberi bantuan menuju kemandirian dan pemberdayaan. Dalam hal ini sasaran ekonomi kerakyatan di daerah tidak lain adalah petani dan nelayan. Dalam kebijakan ekonomi kerakyatan, petani harus diberi hak kepemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah sebagai lahan pertanian, disediakan pula fasilitas kredit untuk permodalan
dan teknologi tepat guna dalam rangka efektivitas berusaha.

Dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat dapat dilakukan dengan menghidupkan dan memfungsikan kembali lembaga-lembaga dalam masyarakat yang mendukung perekonomian masyarakat. Misalanya KUD, Bank Daerah, Pasar dan pengadaan sarana produksi dan distribusi. Apabila semua masyarakat usahanya sudah diwadahi oleh KUD yang didukung pula oleh pengadaan sarana produksi dan distribusi, sementara Bank Daerah atau lembaga keuangan lainnya menyediakan fasilitas kredit untuk modal usaha dan modal kerja maka diharapkan masyarakat lebih akses dan berdaya dalam berusaha.

Penumpukan produksi dapat pula diatasi apabila KUD benar-benar berfungsi tidak saja sebagai wadah produksi, melainkan juga sebagai penyalur (distribusi) produk daerah ke pasar lokal, regional bahkan ke pasar Internasional.

Dalam perkembangannya, keberadaan investor di daerah sering menimbulkan konflik antara pemilik modal dengan petani sebagai pemilik lahan. Pada sisi yang lain, keberadaan investor untuk menanamkan modalnya dalam rangka pemanfaatan potensi alam dan tenaga kerja sangat diharapkan masyarakat. Jalan tengah yang terbaik sebagai solusinya adalah perencanaan pembangunan harus pula menciptakan kerjasama dan saling ketergantungan (komensalisma) anatara investor dan petani.

Efektivitas penerapan teknologi daerah dapat dicapai dengan cara memadukan teknologi sendiri dengan teknologi dari luar, karena dianggap lehih cepat tingkat pemahaman dan diharapkan lebih efektif dan efisien. Upaya penerapan inovasi dan teknologi di daerah, membutuhkan suatu strategi adaptasi antara modernisasi dengan tradisi.

Pendekatan pembangunan dalam rangka peningkatan sumber daya manusia daerah, dapat dilakukan yaitu melalui penyuluhan, pelatihan, swadaya terpadu dan pembangunan terpadu. Meningkatkan mutu sumber daya manusia dipandang sebagai bagian pembangunan yang dapat menjamin kemajuan ekonomi dan kestabilan sosial, karena itu investasi harus diarahkan bukan saja
untuk meningkatkan mutu pendidikan, melainkan juga kesehatan dan gizi.

Salah satu kegagalan dalam perencanaan pembangunan daerah adalah karena ketidakmampuan Kepala Daerah bersama DPRD dalam menyusun APPD. Dimasa yang akan datang salah satu faktor terpenting yang perlu direformasi dalam rangka proses pembelajaran menuju pemberdayaan masyarakat, sudah sangat mendesak pemerintahan Daerah perlu menata kembali sistem anggaran pendapatan dan belanja pembangunannya supaya lebih berkualitas, transparan dan dapat dipertanggung jawabkan kepada masyarakat.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada kebijakan pembangunan daerah di Provinsi Riau yang berakar kepada kerakyatan, ada beberapa faktor penting yang harus dikembangkan di masa yang akan datang, antara lain :
Pertama, faktor sumber daya manusia. Sebagaimana telah diketahui

ada dua kelompok pelaku dalam pembangunan yaitu Pemerintah dan masyarakat. Kedua pelaku pembangunan ini adalah sama-sama penting dan memberikan akses bagi pembangunan. Kedua pelaku pembangunan ini sama- sama perlu ditingkatkan kemampuan sumber daya manusianya. Walaupun dipihak Pemerintah telah cukup memadai kekampuan daya pikir dan nalarnya dalam berkreativitas, namun dipihak masyarakat dirasakan masih banyak kelemahan, jika dilihat dari sisi sumber daya manusianya. Oleh karena itu dalam pengembangan ekonomi kerakyatan di daerah Provinsi Riau, perlu diberikan pendidikan dan pelatihan kepada petani dan nelayan, dalam rangka efektivitas dan efisiensi dalam berusaha. Selain itu instansi yang terkait menyangkut masalah kegiatan pertanian harus pula rutin dan lebih serius lagi dalam memberikan bimbingan dan penyuluhan.
Kedua, faktor lahan pertanian. Dalam pengembangan ekonomi

kerakyatan di daerah Provinsi Riau, faktor pemilikan lahan oleh petani sangat penting, dan justru perlu pengaturan, pembagian, dan penataan kembali kepemilikan hak-hak atas tanah. Selain perusahaan-perusahaan besar Pemerintah (BUMN) dan swasta yang menguasi lahan untuk perkebunan dengan areal yang begitu luas, meskipun hanya dengan hak guna usaha atau hak pakai dan sebahagian lagi penduduk kota yang begitu banyak menguasai lahan yang tidak produktif maksudnya tidak diusahakan, melainkan hanya untuk memperoleh keuntungan dari hasil jual-beli sebagai pakang tanah. Sementara pada sisi yang lain petani kita yang ingin melakukan kegiatan usaha pertanian tidak mempunyai cukup lahan, sebagai akibat tidak mampu untuk membelinya atau tidak memiliki modal untuk membuka lahan baru. Dimasa yang akan datang, Pemerintah Daerah Provinsi Riau melalui Dinas Pertanahan harus benar-benar melakukan pemetaan, pembagian dan penggunaan lahan pertanian secara transparan dan seadil-adilnya, sehingga lahan-lahan yang tidak produktif dapat diserahkan kepada masyarakat yang tidak memiliki atau lahannya sangat sempit untuk kegiatan berusaha.
Ketiga, faktor permodalan. Selain masalah lahan pertanian, petani di

daerah Provinsi Riau, perlu pula memiliki modal dalam arti dana untuk investasi dan modal kerja. Jika tidak ada dana, sudah barang tentu petani tidak akan mungkin memiliki peralatan, bibit tanaman yang unggul, pupuk, racun hama dan biaya hidup selama kegiatan produksi. Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus membuat program bantuan permodalan sebagai upaya mengatasi kesulitan permodalan petani dalam rangka pengembangan ekonomi kerakyatan. Program

permodalan petani untuk kegiatan berusaha, dapat dilakukan Pemerintah melalui kebijakan kredit lunak melalui bank milik Pemerintah Daerah, misalnya melalui Bank Pembangunan Daerah Riau (BPD Riau), Bank Syariah dan PT.PER atau program bantuan khusus disalurkan kepada KUD atau Bank Desa yang telah dibentuk dan dibina secara mapan.
Keempat, faktor teknologi. Kegiatan pertanian merupakan pekerjaan

yang sangat kompleks dan membutuhkan banyak modal, pengetahuan khusus dan teknologi tepat guna. Dengan penggunaan teknologi, misalnya : bibit unggul, pupuk, racun hama, dan peralatan mekanik, kegiatan pertanian diharapkan lebih efisien dan produktif. Oleh karena itu, dalam rangka pengembangan ekonomi kerakyatan, petani secara menyeluruh harus dapat menikmati penggunaan bibit unggul, pupuk, racun hama, dan perlatan mekanik yang mudah didapat dan dengan harga yang relatif terjangkau oleh petani. Semua teknologi tersebut seharusnya tetap selalu tersedia, namun dalam kenyataannya di daerah Provinsi Riau teknologi tersebut sangat sulit didapat dan harganyapun relatif cukup tinggi, terutama peralatan mekanik untuk kegiatan pengolahan lahan dan untuk kegiatan pasca panen. Karena itu kebijakan pengembangan dan penemuan baru di bidang teknologi pertanian harus tetap selalu ditingkatkan, dalam rangka produktivitas, efektivitas dan efisiensi kegiatan usaha tani. Upaya tersebut dapat dilakukan apabila Pemerintah Daerah Provinsi Riau mau bekerjasama dengan lembaga riset dan teknologi melalui berbagai perguruan tinggi yang ada di Daerah, misalnya dengan Fakultas Teknik dan Fakultas pertanian UNRI, UIR atau UNILAK.
Kelima, faktor distribusi dan pemasaran. Setelah kegiatan produksi

yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memasarkan produk yang dihasilkan. Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan distribusi dan pemasaran hasil produksi harus ditata sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa setiap hasil pertanian tetap terjual di pasaran lokal, regional dan internasional. Untuk itu Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus menciptakan pengaturan dalam rangka memasarkan produk pertanian di daerah. Pemasaran lokal diserahkan kepada Koprasi Unit Desa dan pemasaran regional dan internasional harus ada koordinasi antara instansi terkait, misalnya: Dinas Koperasi dan UKM, Dinas Industri dan Perdagangan, Dinas Perhubungan, Badan Gugus Kendali Mutu, termasuk pula Badan yang mengatur kegiatan Ekspor-Inpor.
Keenam, pemberdayaan koperasi.Perubahan mendasar pada fungsi

koperasi sebagai tulang punggung ekonomi kerakyatan adalah dengan telah dikeluarkannya UU. No. 25 Tahun 1992, bahwa koperasi tidak lagi semata-mata sebagai organisasi ekonomi bertujuan sosial melainkan sebagai organisasi ekonomi yang mencari keuntungan untuk kesejahteraan anggota dan masyarakat luas. Dalam pengembangan ekonomi kerakyatan yang dimaksud, struktur koperasi termasuk KUD di Provinsi Riau yang selama ini kurang efektif perlu dilakukan perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Tidak saja perluasan usaha, manajemen yang baik, struktur modal yang kuat sampai kepada peningkatan sumber daya manusia pengurus dan keanggotaannya. Dengan demikian, strategi pemberdayaan koperasi, seharusnya diarahkan kepada :Pertama, posisi, peran dan fungsi Pemerintah Daerah haruslah mendorong peran serta, efisiensi, dan produktivitas masyarakat melalui koperasi;
Kedua, meningkatkan kegairahan, kesadaran, dan kemampuan berkoperasi di

seluruh lapisan masyarakat;Ketiga, meningkatkan kemitraan usaha diantara sesama lembaga koperasi, dan antara koperasi dengan usaha swasta dan BUMN lainnya; danKeempat, menciptakan iklim berusaha yang mendukung tumbuhnya koperasi secara sehat dan mandiri.
Ketujuh, kemitraan berusaha. Dalam perkembangan perekonomian

masyarakat daerah di Provinsi Riau, sangat dirasakan adanya kepincangan struktural, antara usaha besar dengan usaha kecil dan menengah. Kesenjangan itu merupakan akibat dari tidak meratanya pemilikan sumber daya produksi dan produktivitas usaha, serta sistem distribusi dan pemasaran diantara pelaku ekonomi. Untuk memecahkan masalah ini menuntut perlu dilakukannya kemitraan berusaha, dan bukan ketergantungan dan persaingan yang tidak sehat. Kemitraan berusaha yang dimkasud adalah dalam rangka penciptaan hubungan kerja antara pelaku ekonomi yang didasarkan kepada ikatan yang saling menguntungkan dalam hubungan kerja yang sejajar, dilandasi oleh prinsip saling menunjang, dan saling menghidupi berdasarkan asas kekeluargaan dan kebersamaan. Pengalaman telah membuktikan bahwa dalam berusaha masing- masing pihak tetap saja memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab itu, atas dasar kelebihan dan kelemahan ini setiap usaha dituntut untuk selalu berkerjasma dan bermitra. Justru disinilah arti penting ekonomi kerakyatan. Usaha yang besar dan usaha kecil saling membutuhkan dan saling berkerjasama dalam rangka mencapai produktivitas dan efisiensi dalam persaingan yang sehat. Dalam sistem perekonomian yang kita anut sebenarnya tidak ada persaingan bebas yang tidak seimbang, yang ada hanyalah persaingan sehat berupa perlombaan untuk mencari yang terbaik dan bermanfaat bagi semua pihak. Usaha yang satu harus dapat menunjang usaha yang lain, dan tentunya merupakan bahagian dari yang lain. Perusahaan yang besar menopang dan mendorong yang kecil agar tumbuh besar, dan yang kecil membantu yang besar dalam penyediaan berbagai kebutuhan bahan mentah dan lain sebagainya. Pada akhirnya menciptakan suatu totalitas sistem usaha bersama untuk kesejahteraan bersama. Pengalaman telah membuktikan bahwa sebenarnya tidak ada perusahaan yang maju dan menjadi besar sendiri meninggalkan usaha-usaha lain yang kecil. Semua berhubungan, terkait dan interdependensi. Model kemitraan berusaha yang dimaksud dapat berupa hubungan yang saling menguntungkan (komensalisma), misalnya

petani perkebunan kelapa sawit di Provinsi Riau menyediakan bahan mentah, sedangkan pabrik selain menyediakan kebutuhan petani sekaligus mengolah bahan mentah menjadi bahan jadi atau menghasilkan minyak goreng untuk dipasarkan pada pasar lokal, regional dan internasional. Bentuk hubungan kerjasama ini dapat saja diterapkan pada hubungan antara petani dengan KUD yang memiliki pabrik pengolahan barang-barang produksi. Dengan demikian, kemitraaan usaha ini diharapkan pula dapat memberantas atau mengurangi kegiatan monopoli dan oligopoli dari sekelompok orang yang perekonomiannya yang sudah sangat kuat dalam masyarakat. Selanjutnya dalam kemitraan usaha, selain saling menguntungkan, juga harus adil dan dinamis. Adil, dalam arti kemitraannya tidak memberatkan kepada salah satu pihak. Dinamis, dalam arti tidak terpaku pada suatu keadaan, tetapi senantiasa disesuaikan dengan tuntutan keadaan situasi dan kondisi setempat, sehingga efektivitas, produktivitas, dan kualitas usaha kemitraan senantiasa tetap terjaga. Sampai saat ini, berdasarkan pengamatan langsung di lapangan ternyata konsep kemitraan berusaha di Provinsi Riau belum terlaksana dengan baik, karena itu diperlukan peranan Pemerintah Daerah dalam upaya mempercepat proses sosialisasi kemitraan berusaha. Peranan Pemerintah Daerah Provinsi Riau dalam hal ini adalah membuat kebijakan, menfasilitasi pertemuan dan dialog antara perusahaan-perusahaan besar Pemerintah (BUMN) dan swasta dengan petani sebagai pemilik lahan, tentang kemitraan berusaha.
Kedelapan, kebijakan anti monopoli, oligopoli dan kartel.Dalam

mengembangkan ekonomi kerakyatan, tidak dibenarkan adanya praktek- praktek monopoli, oligopoli dan kartel. Hal ini bertentangan dengan prinsip ekonomi dan keadilan. Kegiatan monopoli sudah barang tentu tidak efisien, karena pelakunya secara sengaja membatasi keluaran dan membebankan harga yang lebih tinggi dibandingkan jika keluaran atau produksi itu dihasilkan dalam kondisi persaingan yang murni dan sempurna. Oleh sebab itu dapat ditegaskan disini bahwa monopoli atau sejenisnya seperti perusahaan- perusahaan BUMN adalah tidak efisien jika dibandingkan dengan perusahaan- perusahaan swasta yang murni bersaing, karena BUMN menghasilkan terlalu sedikit dengan beban biaya yang tinggi. Berkurangnya persaingan atau kompetisi yang didukung oleh adanya subsidi Pemerintah, telah menyebabkan perusahaan-perusahaan milik Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dituduh sebagai perusahaan yang dijalankan dengan manajemen yang kurang baik, tidak efisien dan dicemari oleh akses-akses birokrasi, korupsi, kolusi dan nepotisme yang merajalela. Oleh karena itu usaha apaun, besar atau kecil termasuk perusahaan-perusahaan negara atau perusahaan Daerah yang kegiatannya berbau monopoli, harus diswastakan (privatisasi) murni dan dipaksa untuk dapat bersaing di pasaran yang bebas. Demikian pula halnya dengan kegiatan kartel, tidak dibenarkan ada dan berkembang dalam sistem perekonomian kerakyatan. Kegiatan kartel hanya menciptakan kelompok- kelompok usaha yang kecenderungannya dikuasai oleh sekelompok masyarakat saja, sedangkan sebahagian besar masyarakat yang lainnya tidak mendapatkan akses dan kesempatan untuk berusaha. Untuk mencegah dan memberantas praktek-praktek monopoli, oligopoli dan kartel ini, Pemerintah Daerah Provinsi Riau harus lebih serius melaksanakan undang-undang tentang pelarangan kegiatan monopoli, oligopoli dan kartel dalam setiap dunia usaha.

Perubahan masyarakat perdesaan tidak dapat hanya dilihat dari sisi ” Human Centered Develoment“ sebagimana telah disinggung pada uraian sebelumnya. Karena harapan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia adalah supaya pembangunan terarah juga pada “Production centered
development ”.

Adam Smith, sebagi tokoh sentral Aliran Ekonomi klasik telah mengemukakan ajaran “individualisme ” dan“ Laissez Faire ” adalah semboyan yang lahir dari semangatindividualisme. Menurut Smith ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 30 ) bahwa sisteminduvidualisme ekonomi menyerahkan aturan dan penguasaan ekonomi kepada masyarakat, sedangkan pemerintah tidak perlu campur tangan. Tiap-tiap produser dan konsumen merdeka bertindak, pembentukan karya didasari kepada hukum permintaan dan permintaan pasar, menjadi dasar pengambilan keputusan. Harga yang terbentuk atas dasar mekanisme pasar tersebut, dengan sendirinya akan mengpengaruhi produksi, alokasi, pendapatan dan konsumen. Dan semua itu akan lancar jalannya apabila orang seseorang merdeka bertindak dan berbuat. Mekanisme pembentukan harga akan membawa segala hubungan ekonomi secara otomatis kejurusan persesuaian kepada keadaan seimbang. Dengan“invisibel hand” mekanisme harga tersebut “natural orde” dannaturan price, akan berlaku.

Pendekatan teori klasik ini akan baik hasilnya, jika persyaratan- persyaratan yang memungkinkan setiap individu memiliki kemampuan yang sama untuk berperan dalam iklimindividualisme. Pendekatan pembangunan ekonomi ini tidak akan baik, kalau iklim usaha tidak kondusif. Misalnya masih ada monopoli, oligopali, kartel, dan harus ada perangkat aturan yang jelas. Mereka yang sudah memiliki kesempatan yang besar untuk menguasai sumber- sumber ekonomi. Akibatnya terjadi kepincangan sosial, dimana yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah melarat, inilah mungkin yang terjadi di perdesaan dengan kebijakan perkebunan dalam skala luas.

Menurut Smith dan Mill ( dalam Tjokroamidjojo, 1996 : 32 ) bahwa penduduk secara pasti merupakan tenaga produksi yang akan melahirkan perluasan pasar dan pertumbuhan ekonomi. Dalam pembangunan ekonomi perlu pula memperhitungkan faktor non-ekonomi : kepercayaan masyarakat, kebiasaan-kebiasaan berpikir, adat istiadat, dan corak kelembagaan dalam masyarakat. Ini memperkuat argumen bahwa pembangunan ekonomi perlu
memeperhatikan kontekstual desa.

Kemudian Keynes ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 34 ) mengatakan bahwa rendahnya suatu pertumbuhan ekonomi sebagai akibat kurangnya penanaman modal dari pengusaha-pengusaha, maka pemerintah harus bertindak berupa kebijakan fiskal dan moneter. Untuk melengkapi pendapat ini, Domar menambahkan bahwa pembentukan modal dipandang sebagai pengeluaran yang akan menambah kesanggupan suatu perekonomian untuk menghasilkan barang, sekaligus juga sebagai pengeluaran yang akan menambah permintaan efektif seluruh masyarakat. Penanaman modal yang dilakukan masyarakat dalam sewaktu waktu tertentu digunakan dua tujuan : mengganti alat-alat modal yang tidak dapat dipergunakan dan untuk memperbanyak jumlah alat-alat modal dalam masyarakat. Yang menghanghasilkan dua macam nilai, yaitu rasio produksi modal dan rasio modal produksi (capital output ratio ).

Teori ini menuntun kebijakan ekonomi masyarakat, bahwa perlunya investasi dan modal kerja. Untuk itu perlu didukung oleh pemerintah, terutama mencari investor dalam dan luar negeri, serta pengadaan kredit usaha yang disediakan pihak bank. Selain itu diperlukan pula lembaga ekonomi yang lain, misalnya koperasi masyarakat perdesaan untuk usaha simpan pinjam, memberi semangat budaya menabung, dan termasuk persediaan saprodi untuk keperluan petani, serta destribusi pemasaran hasil-hasil pertanian. Tampa itu semua pertumbuhan ekonomi yang meningkatkan pendapatan masyarakat sulit dicapai.

Aliran Neo klasik yang dipelajari Cobb dan Douglas ( dalam Tjokroamidjojo, 1995 : 36 ) bahwa pertumbuhan ekonomi masyarakat ditentukan oleh pertumbuhan dalam penawaran faktor-faktor produksi. ( alat-alat modal di tenaga kerja ) dan teknologi. Fungsi produksi yang telah berkembang, yang terkenal dengan istilah “Cobb-DouglasProduction Function, sebagai berikut :

Yt = Tingkat Produksi Pada Tahun t;
Tt = Tingkat Teknologi Pada tahun t;
Kt = Jumlak Stok Alat-Alat Modal Pada Tahun t;
Lt = Jumlah Tenaga Kerja Pada Tahun t
x = Pertambahan Produksi Akibat pertumbuhan Satu Unit Modal
B = Pertumbuhan Produksi Akibat pertambahan Satu Unit Tenaga Kerja

Nilai x dan B biasanya ditentukan dengan anggapan bahwa x + B = 1, berakti nilai x dan B adalah sama dengan nilai produktivitas batas dari masing- masing faktor tersebut, dengan melihat peranan tenaga kerja dan modal dalam pencapaian pendapatan masyarakat.

Dalam menganalisa tahapan pembangunan sosial ekonomi perdesaan, dapat mengacu pada konsep proses pembangunan yang dikemukan Rostow ( dalam Budiman, 1995 : 25 – 31 ) bahwa pembangunan merupakan proses yang bergerak dalam sebuah garis lurus, yakni dari masyarakat yang terkebelakang ke masyarakat yang maju, yaitu :

1. Masyarakat tradisional : tingkat ilmu pengatahuan masyarakat rendah, masyarakatnya masih dikuasai kepercayaan kekuatan magis, tunduk kepada alam, produksi terbatas, ekonomi subsistensi, tidak ada investasi, dan masyarakatnya statis.

2. Prakondisi untuk lepas landas : masyarakat tradisional meskipun sangat lemah, terus bergerak mencapai suatu titik prakondisi untuk lepas landas. Perubahan ini karena ada campur tangan dari luar, mulai dari ide pembaharuan. Usaha untuk meningkatkan tabungan terjadi digunakan untuk investasi sektor-sektor produktif dan menguntungkan, termasuk pendidikan.

3. Lepas landas : dimulai dari tersingkirnya hambatan-hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan investasi yang aktif meningkat 5% menjadi 10% dari pendapatan nasional industri-industri baru mulai berkembang dengan pesat. Pertanian menjadi usaha komersial, bukan sekedar untuk konsumsi.

4. Bergerak ke kedewasaan : terjadi proses kemajuan yang terus bergerak kedepan, tabungan dan investasi mencapai antara 10% sampai 20% dari pendapatan nasional dan diinvestasikan kemabali. Industri berkembanmg sangat pesat, sebahagian barang diimpor sekarang sudah di produksi dan ekspor barang-barang baru mengimbangi impor. Setelah 40 – 60 tahun setelah periode lepas
landas terakhir, tingkat kedewasan biasanya tercapai.

5. Jaman konsumsi masal yang tinggi : karena pendapatan masyarakat naik , konsumsi tidak lagi terbatas pada kebutuhan pokok untuk hidup tetapi meningkat ke kebutuhan yang lebih tinggi. Produksi industri berubah kebutuhan dasar menjadi kebutuhan barang konsumsi yang tahan lama. Investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan utama, surplus ekonomi akibat proses politik dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pembangunan sudah berkesinambungan untuk kemajuan terus menerus.

Teori Rostow tentang lima tahap pertumbuhan ekonomi ini, seperti teori modernisasi lainnya, didasarkan pada dekotomi masyarakat-masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Titik tengah dalam gerakan kemajuan dari masyarakat yang satu ke yang lainnya adalah periode lepas landas
(

masyarakat transisi ). Kalau mengaku ke perdesaan, tingkat perkembanganya yaitu desa tradisional, desa tradisional dan desa modern, dalam perkembangan tingkat sosial ekonomi masyarakat Rostow juga mengemukakan penting adanya kelompok wiraswastawan, elite baru dalam masyarakat, misalnya : kaum pedagang, meningkatnya investasi, tumbuh industri pengelolaan (manufaktur) dan adanya secara cepat lembaga-lembaga politik dan sosial yang dapat menciptakan iklim berinvestasi yang kondusif.

Pada umunya perdesaan di Indonesia karena sebagai negara agraris, sektor pertanian yang menjadi andalan. Menurut Weitz ( dalam Todaro, 1995 : 367 ) terdapat tiga langkah atau tahapan besar di dalam perjalanan evolusi produksi pertanian : pertama, pertanian subsisten yang produktivitasnya rendah; kedua tahapan pertanian diversifikasi atau capuran; ketiga, tahapan pertanian modern, produktivitas yang tinggi untuk mengisi pasar-pasar komersial.

Modernisasi di bidang pertanian di dalam ekonomi pasar campuran seperti yang tampak di perdesaan akan mengalami peralihan secara bertahap, dari subsisten ( untuk memenuhi kebutuhan sendiri ) menuju spesialisasi produksi ( komersial ). Akan tetapi transisi tersebut lebih banyak memerlukan adanya reorganisasi struktural ekonomi pertanian atau aplikasi teknologi
pertanian.

Kebanyakan masyarakat perdesaan pada saat ini, pertanian bukan saja aktivitas ekonomi, tatapi sudah menjadi cara hidup. Setiap pemerintah yang berusaha untuk mengubah pertanian tradisionalnya ini harus mengatahui bahwa selain penerapan struktural pertanian yang baru, perubahan-perubahan yang berpengaruh kepada seluruh struktur kehidupan sosial ekonomi, pendidikan dan kelembagaan pada masyarakat, kesemuanya itu sangat diperlukan. Tampa adanya perubahan seperti itu, pembangunan masyarakat perdesaan tidak akan beranjak atau barangkali hanya akan memperlebar kesenjangan antara sekelompok kecil orang yang kaya dan makmur dan mayoritas petani miskin.

Di dalam pertanian subsisten tradisional, keluaran dan konsumsi identik dengan dua tiga hasil pertanian pokok ( biasanya sagu, beras dan jagung ) merupakan sumber pangan utama. Keluaran dan produktivitasnya rendah dan peralatan pertanian yang digunakan amat sederhana, lingkungan statis, musim tanam sangat tergantung pada cuaca, dan tenaga kerja merupakan faktor produksi pokok. Gagal panen dan kurang keterampilan dalam mengelola lahan merupakan bencana bagi kelansungan hidup petani. Para petani memperkerjakan anggota keluarganya. Terbatasnya teknologi, kakunya lembaga-lembaga sosial dan terbagi-baginya pasar merintangi meningkatnya produksi. Sebagian besar masyarakat pertanian perdesaan masih tetap berarti pada tahap subsistensi. Namun kebanyakan pertanian tradisional dapat berprilaku secara ekonomi rasional, jika dihadapkan kepada alternatif kesempatan.

Menurut teori yang baku, pendapatan rasional atau laba (profit) maksimum pertanian atau perusahaan akan selalu memilih metode produksi yang akan meningkat keluaran pada biaya tertentu atau menurut biaya pada tingkat keluaran tertentu ( prinsip ekonomi ). Oleh karena itu, jika rasio dan ketidak pastiannya pasar, seorang petani miskin akan segan ( pikir-pikir dulu ) untuk beralih dari teknologi tradisional dan bertani yang telah bertahun-tahun mereka tekuni ke teknologi baru, yang walupun menjanjikan hasil panen lebih tinggi, namun mengandung resiko kegagalan yang besar juga. Menurut Todaro ( 1995 : 370 ) mengatakan bahwa ada beberapa faktor mengapa petani kecil kurang responsif terhadap peluang ekonomi yang jelas, diantaranya karena : pemerintah memberikan jaminan harga yang tidak pernah dibayar, memasukan pelengkap ( pupuk, obat-obatan, anti hama, pengairan, kredit-kredit yang tidak bisa dimanfaatkan dan sebagainya ), semuanya itu di tidak tertenggulangi petani kecil.

Dengan demikian usaha-usaha untuk memperkecil resiko dan melenyapkan hambatan-hambatan komersial dan kelembagaan terhadap inovasi baru termasuk teknologi, merupakan persyaratan pokok (esensial) bagi pembangunan pertanian di perdesaan.

Selanjutnya diversifikasi tanaman atau pertanian campuran merupakan langkah pertama yang dapat dianggap masuk akal untuk beralih dari subsisten ke spesialisasi produksi. Dalam tahap ini panen pokok tidak lagi di dominasi keluaran pertanian, karena hasil bumi baru untuk perdagangan seperti buah- buahan, sayuran, kopi, the, sawit, kelapa, nenas, pisang, jeruk, mangga, rambutan dan sebagainya dapat dipungut bersama-sama dengan hasil kolam dan ternak peliharaan.

Aktivitas baru ini dapat dilakukan lebih santai, dimana banyak tenaga kerja petani diluar masa panen dalam keadan setengah menganggur, memanfaatkan sisa lahan. Akhirnya dengan menggunakan traktor kecil, mesin penyebar benih, bajak-bajak yang dijalankan hewan, penggunaan bibit unggul, pupuk, irigasi, racun hama, dan irigasi akan meningkatkan hasil panen pokok seperti, beras, dan jagung serta dapat menghemat tanah untuk digunakan menahan tanaman perdagangan, tampa menggangu sediaan panen pokok. Para penggarap lahan yang demikian dapat memiliki surplus panen yang dapat dijual ke pasar yang hasilnya dapat meningkatkan standar hidup keluarganya atau digunakan untuk investasi, divertifikasi tanaman dapat juga memperkecil pengaruh gagalnya panen, disamping memberikan jaminan tambahan pendapatan. Sukses atau gagaglnya petani di perdesaan, akan tergantung tidak hanya pada kemampuan petani dan keterampilannya dalam meningkatkan produktivitasnya, tertapi bahkan yang lebih penting tertumpu pada kondisi- kondisi sosial, komersial dan kelembagaan yang melingkupi petani. Khususnya jika petani telah yakin gampang memperoleh kredit ,pupuk, air, penjelasan- penjelasan dari penyuluh, fasilitas pemasaran, dan sebagainya, dan jika petani tidak ragu-ragu lagi akan dapat memperoleh keuntungan dari setiap perbaikan, maka tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa petani tidak tanggap terhadap rangsangan ekonomi dan peluang-peluang baru untuk memperbaiki taraf kehidupan kehidupan masyarakat di perdesaan.

Kemudian dari pada itu, spesialisasi tanaman merupakan tahap akhir dan paling maju dari lahan pertanian yang dikelola secara individu dari dalam perekonomian pasar campuran. Pada tipe pertanian yang mengenal spesialisasi tanaman atau usaha, penyediaan pangan bagi keluarga dari surplus atau kelebihan penjualan pasar tidak lagi merupakan sasaran motivasi pokok. Keuntungan yang benar-benar komersial menjadi ukuran atau kriteria sukses usaha manusia atas lahan pertanian per meter kubik ( Irigasi, pupuk, anti hama, bibit unggul dan sebagainya, sementara itu tujuan aktivitas usaha. Produksi dimaksudkan semata-mata untuk pasar dan konsep-konsep ekonomi, seperti biaya tetap, biaya variabel, tabungan, investasi dan tingkat laba atau keuntungan, kombinasi-kombinasi faktor optimal, harga-harga pasar dan penunjang harga dan sebagainya, mempunyai peranan kuantatif dan kualitatif. Pembentukan modal, kemajuan teknologi, penelitian ilmiah, memainkan peran besar di dalam meningkatkan keluaran dan produktivitas yang lebih tinggi. Spesialisasi tanaman mungkin berbeda ukuran, bentuk dan fungsinya. Cakupannya meliputi pembudidayaan buah-buahan, sayur-sayuran, perkebunan, peternakan dan perikanan yang sangat luas padat modal. Dalam banyak hal peralatan mekanis yang hemat tenaga, dari mulai traktor-traktor yang besar sampai dengan pesawat penyemperot hama memungkinkan seorang petani mengelola ribuan meterkubik lahan tanah sekaligus. Gambaran umum mengenai spesialisasi pertanian, menitik beratkan pada pembudidayaan satu jenis tanaman tertentu, pemakaian teknik-teknik yang padat modal dan hemat tenaga kerja terkait pada skala ekonomi, yaitu memperkecil biaya perunit tetapi dengan keuntungan maksimal. Kenyatanya beberapa pengoprasian spesialisasi tanaman
dimiliki dan dikelola oleh perusahan-perusahaan agrobisnis.

Dengan berpengalaman kepada negara-negara maju yang tingkat kemakmuranya tinggi, pilihan kepada spesialisasi produksi yang disesuaikan dengan sumber alam dan permintaan pasar merupakan alternatif yang tepat untuk diterapkan pada pembangunan sosial ekonomi perdesaan. Hanya saja berdasarkan pengalaman spesialisasi.

Produksi, seperti perkebunan inti rakyat, faktor modal, teknologi dan keterlibatan (keikutsertaan) petani yang berada disekitarnya atau sebagai pemilik lahan merupakan faktor yang perlu diperhitungkan, dalam rangka pencapaian pembangunan perdesaan yang beroreintasi pada kepentingan manusia yang sebenarnya. Yang sering menimbulkan konflik adalah para pemilik agrobisni swasta selalu menggarap lahan-lahan petani dalam skala yang luas, tanpa mengikutsertakan petani, bahkan merampas lahan-lahannya. Jadi aspek pengaturan dan pembagian mengurangi resiko spesialisasi produksi dalam skala yang luas.

Dengan mengacu pada beberapa teori pertumbuhan ekonomi dari berbagai aliran, maka setidak-tidaknya ada beberapa faktor yang harus ada selalu tersedia dan berfungsi pada masyarakat perdesaan, diantaranya :
1. Tenaga kerja yang terampil dan sehat, pembentukan melalui
peningkatan sumber daya manusia.
2. Petani yang memiliki tanah (lahan) melalui kebijakan landreform.

3. Dana untuk investasi dan modal kerja, melalui penyediaan kredit jangka panjang dan kecil tingkat suku bunga yang disediakan bank pemerintah atau koperasi desa.
4. Seperangkat aturan yang mencagah terjadinya monopoli /persaingan
yang tidak sehat dan iklim sosial politik yang kondusif.
5. Jaminan distribusi dan pemasaran hasil-hasil usaha di perdesaan.
6. Teknologi tepat guna ( yang disesuaikan dengan kebutuhan
karateristik sosial ekonomi desa )
7. Pembagian kerja (usaha) secara lokal, ragional dan nasional, melalui perkembangan spesialisasi produksi yang sesuai dengan sumber- sumber setempat.
8. Dukungan kebijakan dan kemampuan politik dari pemerintah.
9. Berfungsinya lembaga-lembaga dalam masyarakat.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Printable Coupons